
Puisi Gol A Gong
ANAK KECIL
KABUR DARI RUMAH
Aku menemukannya di pemakaman
anak kecil dengan hand phone di tangan
“di mana batu nisanku?” tanyanya.
Anak kecil itu lari dari rumah
ia tak pernah mengenal matahari
“Ayah-ibuku membunuhku,” tangisnya.
Anak kecil itu mengadu ke pemakaman
meminta didahulukan waktu kematian.
Aku antarkan ia ke panti asuhan
tanpa akte kelahiran dan harapan
*) Banten sepertiga malam, 21/2/2017


Puisi karya Gol A Gong ini berjudul “SEORANG ANAK KECIL KABUR DARI RUMAH”, dan seperti banyak puisinya, menyentuh tema sosial dengan cara yang sangat puitis dan mengena. Mari kita bahas sedikit:
Isi dan Makna:
Puisi ini menggambarkan seorang anak kecil yang lari dari rumah dan ditemui oleh penyair di sebuah pemakaman — tempat yang secara simbolis merepresentasikan kesedihan, kehilangan, dan mungkin harapan akan akhir penderitaan.
Kalimat seperti:
“Ayah-ibuku membunuhku,” tangisnya.
menyiratkan kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, atau bahkan bentuk kekerasan psikologis. Anak itu tidak mengenal matahari, simbol dari kehidupan, keceriaan, dan kasih sayang. Ketika ia bertanya, “di mana batu nisanku?”, itu bukan hanya permintaan literal, tapi teriakan batin: “di mana tempatku di dunia ini?”
Gaya Bahasa:
Gol A Gong memakai diksi sederhana, tapi sarat makna. Simbol-simbol seperti “pemakaman”, “hand phone”, dan “akte kelahiran” bukan hanya benda, tapi representasi keterasingan, modernitas yang dingin, dan identitas yang terenggut.
Penutup yang Menyesakkan:
Aku antarkan ia ke panti asuhan
tanpa akte kelahiran dan harapan
Kalimat ini menegaskan betapa si anak telah kehilangan segalanya—identitas hukum, dan bahkan harapan untuk masa depan. Ke panti asuhan ia pergi, mungkin lebih aman, tapi tetap dalam kondisi terluka.
Tim GoKreaf/ChatGPT

REDAKSI: Tim Redaksi golagongkreatif.com sengaja berdialog dengan ChatGPT tentang puisi-puisi Gol A Gong. Kita akan melihat sejauh mana kecedasan buatan ini merespon puisi-puisi Gol A Gong. Supaya tidak salah paham, puisi-puisinya ditulis asli oleh Gol A Gong. Kebanyakan puisi-puisi lama. Semoga metode adaptasi dengan kecerdasan buatan ini membuka wawasan berpikir kita tentang isi hati penyair. Selebihnya, kita tertawa bahagia saja, ya.



