
Langit Jakarta sore itu mendung. Udara lembap dan bau tanah basah seolah menyambut langkah kakiku yang terburu-buru. Aku baru pulang dari sekolah, masih berseragam putih abu-abu lengkap dengan dasi kusut yang tergantung seadanya.
Begitu membuka pagar rumah, aku melihat mobil hitam tua terparkir di depan garasi.
“Papa pulang…” bisikku pelan, setengah tak percaya.
Aku masuk ke rumah, dan di sana, di ruang tengah yang dikelilingi rak buku tua dan sofa empuk warna krem, Ayah sedang duduk sambil menyesap kopi.
“Anya!” serunya, membuka tangan lebar-lebar.
Aku langsung berlari memeluknya.
“Kok Papa gak bilang mau pulang?” tanyaku manja.
“Pengen kasih kejutan dong,” katanya sambil mencubit pipiku ringan. “Kangen anak gadis Papa.”

Kami duduk, ngobrol ringan. Tentang tambang, tentang pekerjaannya di Kalimantan, dan tentu saja—tentang aku.
Tak lama, suara bel rumah berbunyi. Aku membuka pintu dan menemukan Vera, sahabatku sejak kelas satu SMA, berdiri sambil membawa bungkusan kecil.
“Gue bawain brownies buatan nyokap,” katanya. “Kebetulan lewat sini.”
Aku mempersilakan masuk.
“Pak Danu, kenalin ini Vera, temen sekelas aku,” kataku.
Ayah berdiri dan menjabat tangan Vera.
“Wah, jadi ini yang sering Anya ceritain ya?” katanya ramah.
Vera tertawa manis. “Wah, saya juga sering denger Anya cerita soal Bapak. Katanya kerja di Kalimantan, keren banget.”
Mereka ngobrol. Canggung. Tapi ada yang aneh di mataku. Tatapan mereka terlalu lama. Terlalu dalam. Aku abaikan—mencoba berpikir positif. Tapi sejak hari itu, semuanya berubah.
oOo
Ayah mulai sering pulang. Bukan lagi sebulan sekali, tapi dua minggu sekali. Awalnya aku senang, tapi lama-lama aku sadar, kehadirannya bukan lagi sepenuhnya untukku. Aku melihatnya sering melirik ponselnya, senyum-senyum sendiri.
Hingga suatu hari, saat Vera duduk di bangku taman sekolah, sibuk dengan ponsel barunya, aku bertanya.
“Beli dari mana, Ver? iPhone 15 Pro gitu loh…”
Dia hanya tersenyum tipis. “Dikasih.”
“Siapa yang ngasih?” desakku.
“Orang yang sayang sama aku,” katanya sambil bangkit dan meninggalkanku.
Hatiku tak tenang. Aku mulai menyelidik. Dan pada suatu Sabtu sore, dengan hoodie dan masker menutupi wajahku, aku membuntuti Ayah dari rumah.

Ia bertemu dengan Vera di sebuah coffee shop kecil di bilangan Tebet. Dari situ, mereka naik mobil bersama ke sebuah hotel di Kuningan. Hotel bintang empat. Aku tak sanggup melihat lebih lama. Aku pulang dengan hati hancur.
Malam itu aku menangis di kamar. Dunia terasa sempit. Rasanya seperti dikhianati dua orang yang paling aku percaya.
oOo
Beberapa minggu berlalu. Aku menjauh dari Vera. Dari Ayah. Uang jajan yang biasa mengalir deras, kini berhenti. Aku diam, pura-pura tidak tahu. Tapi hatiku terus memberontak.
Sampai suatu malam, pintu rumah diketuk keras. Aku membukanya, dan menemukan Vera berdiri di sana, matanya sembab.
“Gue… hamil, Nya,” katanya tanpa basa-basi.
Aku membeku.

“Dan itu… dari Papa lo.”
Air matanya mengalir deras.
“Dia nyuruh gue aborsi. Tapi gue takut. Gue bingung. Gue gak punya siapa-siapa.”
Aku mematung. Tak bisa marah, tak bisa bersuara. Aku hanya menatap lantai.
“Makasih udah dengerin,” kata Vera akhirnya. Lalu dia pergi. Meninggalkan aroma kebohongan yang terlalu lama kusembunyikan.
oOo

Malam itu juga aku berkemas. Uang tabungan dari amplop-amplop yang dulu Ayah beri, aku kumpulkan. Kupesan tiket kereta ke Surabaya. Tak ada pesan perpisahan. Tak ada tangis atau pelukan. Aku hanya pergi. Meninggalkan semuanya.
Kini aku tinggal di Surabaya. Di kos kecil di daerah Rungkut, dekat kampus, dekat keramaian. Kamar sempit berukuran 3×3 meter itu menjadi tempat baru untuk jiwaku yang luka.
Aku membeli motor bekas yang masih trendi dari tabungan, dan mendaftar jadi driver ojek online. Jaket hijau, helm, dan senyum menjadi topeng harianku. Setiap hari aku antar-jemput orang, mendengar cerita-cerita mereka—seolah sedang melupakan cerita hidupku sendiri.

Terkadang aku duduk di pinggir jalan saat senja, menatap langit Surabaya yang lebih bersahabat dari langit Jakarta.
Aku tidak tahu sampai kapan akan seperti ini.
Tapi satu hal yang kupastikan: di jalanan ini, aku memilih untuk tetap berjalan. Meski sendiri.
*) Serang, 9 April 2025, Tim GoKreaf/ChatGPT

