Di kota kecil yang tenang di pinggir pantai, hiduplah seorang pemuda bernama Raga. Setiap pagi, ia akan berjalan menyusuri jalan kampung dengan dada membusung dan langkah seperti menapak panggung catwalk. Rambutnya selalu klimis, bajunya selalu wangi parfum mahal, dan di lehernya tergantung kalung imitasi yang berkilau di bawah sinar matahari.

“Anak siapa sih itu?” tanya seorang ibu-ibu pasar.

“Itu Raga, katanya sih mau jadi influencer. Followers-nya udah seribu katanya,” sahut yang lain sambil menyipitkan mata, setengah kagum, setengah geli.

Raga senang dipanggil “abang konten”. Ia sering duduk di warung kopi, bersilang kaki, bercerita tentang “branding”, “personal image”, dan “visual impact” pada siapa saja yang sudi mendengarnya—atau bahkan yang tidak.

“Tahu nggak, bro, di Jakarta tuh orang kayak gue dihargai banget. Cuma karena gue punya gaya dan otak branding.”

Padahal, Raga belum pernah ke Jakarta. Sekolah pun hanya sampai kelas dua SMA. Ia berhenti karena mengaku bosan, katanya pendidikan formal itu kuno. Tapi sejak itulah ia mulai tampil di media sosial, membuat video dengan gaya sok tahu, membahas apa saja: dari saham, politik, sampai filsafat.

Namun, bila ditanya lebih dalam, jawabannya selalu melantur.

“Kenapa kamu bilang Nietzsche itu pengusaha?”

“Ya karena… dia kan berpikir bebas, bebas itu modal usaha. Logika gue jalan, bro. Lo aja yang nggak nangkep.”

Lambat laun, orang kampung mulai melihat celah. Kata-kata Raga indah, tapi kosong. Ia hanya bicara tanpa isi. Ilmu tak ada, pengalaman pun tak cukup. Namun ia tetap tegak berdiri, seolah dunia harus tunduk pada pesonanya.

“Padi hampa tegak tangkainya,” gumam Pak Lurah suatu hari, sambil memandangi Raga yang sedang membuat vlog sambil berdiri di tengah jalan kampung.

Sampai suatu hari, sekolah tempat adik Raga belajar mengadakan lomba debat antar-kampung. Raga dengan penuh percaya diri mendaftar sebagai wakil. Ia datang dengan jas putih dan kacamata bundar—lengkap dengan kata-kata motivasi: “Saya percaya pada kekuatan orasi.”

Namun ketika giliran berbicara, ia hanya berputar-putar di kata-kata megah tanpa makna. Penonton mulai tertawa kecil. Juri mengerutkan dahi. Dan di akhir acara, skor kampungnya paling rendah.

Sejak hari itu, Raga jarang muncul di warung. Ia mulai terlihat di perpustakaan kecil kampung, membaca diam-diam. Kadang mencatat sesuatu. Tak ada lagi gaya berlebihan. Tak ada lagi bualan panjang.

Beberapa orang sempat heran, “Kenapa kamu berubah, Ga?”

Raga hanya tersenyum kecil. “Tangkai yang merunduk belum tentu kalah angin. Mungkin baru sekarang aku tahu, isi lebih penting dari gaya.”

Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5