Ketika saya masih anak-anak, saya bermimpi ingin jadi juara All Englang. Saat itu Indonesia punya pebulutangkis idolavdan jadi tolok ukur semua, yaitu Rudi Hartono.

Saya bekerja keras, disiplin berlatih. Ketika di Serang, saya lari ke Baros, ke Sayar, ke Banten lama, bahkan pernah ke Anyer, dan Merak.

Di Bandung, saya lari hampir tiap Minggu ke Maribaya, melintasi Sadang Serang, lapangan golf, Dago Pakar, nembus hutan, muncul di air terjun Maribaya. Pulangnya naik angkot ke Lembang, nyambung naik jurusan Cicaheum, turun di Cikutra.

Hasilnya? Saya gagal di All England, ingin tercatat di Guinness Book Records sebagai pebulutangkis berlengan satu. Tapi saya menyabet 5 emas cabor badminton di Asian Para Games (dulu Fespic Games) kelas amputi tangan.

Jadi begitulah olahraga. Ketika ekosistemnya bagus. Organisasi olahraga yang menaunginya tidak korup, Ketua Umumnya memahami fenomena cabor secara global, memiliki konseksivitas level dunia, tidak primordial, memiliki spirit kompetitif, tidak KKN, maka itu akan mendorong anak-anak muda bermimpi setinggi langit.

Saya rasa itu sedang terjadi di sepakbola kita. Kita bisa melihat seorang Nilmaizar, mantan pelatih sekaligus pemain nasional. Ulasannya tentang Timnas Sepak Bola Indonesia U17 yang lolos ke Piala sangat berbeda dengan Towel. Kalau Towel terlalu kuat subjektivitasnya alias mengandalkan perasaan suka dan tidak suka. Kalau kamu?

Gol A Gong

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5