
Oleh: Justicia
Buku ini memberikan gambaran nyata tentang kehidupan Muslim imigran dari negara-negara Islam di Eropa, khususnya di Inggris—negara yang kerap menjadi tujuan para imigran, terutama dari negara-negara Muslim yang tengah berkonflik.
Buku ini mengisahkan tentang politik, agama, Islamofobia, dan rasisme, melalui sudut pandang masing-masing karakter yang mewakili isu-isu tersebut. Tentunya ada pula unsur romansa yang menjadi penyampaian menarik. Mengutip dari review orang lain, kisahnya seperti versi modern Romeo & Juliet. Namun, buku ini tidak hanya berbicara soal cinta antara pria dan wanita, tetapi juga cinta kepada Tuhan, keluarga, dan diri sendiri.
Buku ini menggambarkan interaksi manusia dengan sesamanya—dan ketika berbicara tentang manusia, tentu akan muncul hal-hal seperti martabat, kekuasaan, harga diri, serta sisi emosional manusia pada umumnya.
Ceritanya berpusat pada keluarga Muslim Pakistan yang tinggal di Inggris, tepatnya satu keluarga yang ayahnya terlibat dalam gerakan dan organisasi Taliban. Mereka hidup di bawah pandangan stereotip dan rasisme dari masyarakat Eropa terhadap Muslim.

Mereka harus menanggung hinaan dan prasangka yang dilontarkan orang-orang terhadap garis keturunan mereka. Selain itu, mereka juga hidup di bawah pengawasan pemerintah secara terus-menerus, tidak benar-benar memiliki kebebasan, dan selalu berada dalam bayang-bayang tuduhan.
Novel ini menawarkan cerita yang kompleks—mulai dari permasalahan internal keluarga hingga isu politik yang sangat memengaruhi kehidupan bermasyarakat. Kamila Shamsie, sang penulis yang juga seorang Muslim, menurutku sangat merepresentasikan keresahan sebagai seorang Muslim dalam tulisannya.
Ia menggambarkan dengan kuat hubungan manusia dengan Tuhan, sesama (keluarga, teman, pasangan), dan sistem yang membelenggu. Menjadi Muslim di negara mayoritas non-Muslim tentu merupakan tantangan tersendiri. Namun, menjadi imigran Muslim di negara tersebut adalah kesulitan yang lebih dalam lagi.
Rasisme dan sikap buruk dari lingkungan sekitar sangat memengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Label yang diberikan kepada seorang anak Muslim yang tengah tumbuh dan berkembang—di masa remaja dan masa berpikir kritisnya—dalam lingkungan yang islamofobik dan rasis, tentu memberikan dampak negatif terhadap cara ia menyikapi permasalahan dalam dirinya dan sekitarnya.
Siapa sangka, peran pemerintah sangat besar dalam pembentukan karakter masyarakatnya? Opini publik dibentuk melalui media yang juga dikuasai pemerintah. Tanpa adanya kesadaran individu untuk melihat kebenaran dan bersikap terbuka, ia akan selamanya terjebak dalam sistem yang keji dan terkekang oleh pikirannya sendiri.

