
Oleh: Zaeni Boli
Sore kemarin, Jumat, 11 April 2025, saya mendapat undangan untuk mengikuti jalan salib di KBG Santo Rafael yang berada di Kelurahan Waibalun oleh seorang kawan. Meski tahu saya seorang Muslim, beliau tetap meminta saya untuk membacakan satu puisi dalam ibadah jalan salib yang berlangsung setiap hari Jumat selama 40 hari menjelang Paskah. Ini menjadi Jumat terakhir sebelum Paskah.


Sepanjang perjalanan menuju lokasi, suasana iman Katolik sudah sangat terasa. Jalan-jalan dibersihkan dan dicat kembali, menjadikan kota tampak lebih indah dan religius. Konon, begitulah keadaan kota ini menjelang Paskah—sebuah perayaan besar umat Katolik.
Larantuka sendiri adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki kerajaan bercorak Katolik dan dijuluki sebagai Vatikan-nya Indonesia, karena di sini juga terdapat tradisi perayaan Paskah yang dikenal dengan Semana Santa, atau Pekan Suci bagi umat Katolik.


Saat sudah dekat, sepanjang jalan menuju lokasi, tampak lilin-lilin terpasang. Ada yang diletakkan di atas kursi plastik, ada juga yang diikat pada bambu dan dipajang sepanjang jalan. Orang di sini menyebutnya tikam turo.
Meski sudah tujuh tahun berada di kota ini, ini menjadi pengalaman pertama saya terlibat langsung dalam peristiwa jalan salib hidup. Yang teristimewa, saya diminta membacakan satu puisi dari penyair terkenal Indonesia, WS Rendra. Rendra sendiri, sebelum akhir hayatnya dalam iman Islam, sebelumnya adalah penganut Katolik.

Saya memandang ini sebagai bagian dari toleransi saya kepada saudara-saudara kami yang Katolik—tetap dalam prinsip lakum dinukum waliyadin. Ya, toleransi beragama di daerah kami, di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sangat terjaga dan lestari dalam kehidupan keseharian.
Suasana sore ini terasa sangat teduh dan damai dalam iman.

