Aku naiki dua anak tangga bus. Udara AC langsung menyergap tubuhku. Sejuk. Tadi di ruang tunggu terminal bus sangat panas sekali.

Aku hitung penumpang hanya setengah kapasitas saja. Aku menyusuri lorong, tersenyum sambil menganggukan kepala kepada orang-orang yang menatapku dengan aneh sambil main handphone.  Tak ada balasan senyum dari mereka. Apakah karena ini malam Jum’at?

“Ruslan,” Ibu menatapku kuatir. “Jangan berangkat malam Jum’at, Nak,” saran ibuku. “Nggak baik. Kan bisa malam Minggu.”

“Rus harus nyari kamar kosan, Bu. Ada waktu tiga hari buat beres-beres kamar. Senin udah langsung masuk kerja.”

“Ibu nggak suka kamu kerja di kota itu. Banyak cerita buruk dari kakekmu tentang kota itu.”

Aku juga sebetulnya tidak suka dengan penempatan kerja di kota itu. Kota yang terkenal dengan makam keramatnya, kisah mistiknya, dan tradisi mengorbankan kepala kerbau ke kawah gunung yang masih bekerja.

Tapi aku tidak punya pilihan. Aku dituntut harus menikahi Farida tahun depan. Aku harus menabung. Itulah kenapa aku mau ditempatkan sebagai kepala cabang di kota itu. Aku harus mampu menjual banyak motor listrik di kota itu agar mendapatkan bonus untuk modal menikah.

Aku duduk di bangku baris kedua paling belakang. Aku sengaja memilih di situ, agar dekat ke toilet. Perjalanan bus malam dengan AC lumayan dingin, bisa membuatku sering keluar-masuk toilet.

Bus malam melaju meninggalkan terminal kotaku. Aku betul-betul lelah menyiapkan segala kebutuhan untuk tinggal di kota tempatku bekerja, kota di ujung pulau besar ini. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

Aku terbangun ketika lenganku seperti disentuh atau tepatnya tersentuh seseorang. Aku lihat seorang perempuan duduk di baris sebelah kananku. Bangku di sana memang kosong. Aku mengucek-ucek mata dan tersenyum kepadanya.

Aku ingin tidur lagi, tapi terpesona dengan kecantikannya. Kapan perempuan ini naik? Mungkin di kota berikutnya ketika aku tertidur. Aku berdiri, menggeliat, melakukan peregangan agar tulang-tulangku tidak sakit. Aku lihat orang-orang tertidur. Lampu bus yang menyala temaram semakin membuat nyaman.

“Sekarang jam berapa, Mas?” suaranya sangat merdu.

Aku memeriksa jam di handphone. Sudah pukul 12 malam lewat beberapa menit. Perempuan itu mengangguk.

Aku melihat ke luar lewat jendela. Gelap. Tak ada yang bisa kunikmati. Aku duduk lagi. Aku menengok ke sebelah kanan. Perempuan itu tersenyum.

“Mbak, mau ke mana?”

“Sebentar lagi turun.”

“Tengah malam begini? Sendirian?”

“Kalau Mas mau mengantar saya pulang, tentu dengan senang hati…”

Suaranya begitu merdu dan membuatku tidak mampu menolak tawarannya.

Aku mencoba melihat lagi ke luar jendela. Ada bus malam dari arah berlawanan, membuatku bisa melihat bahwa bahwa bus berada di hutan jati.

“Ayo, kita turun, Mas…”

Aku segera mengambil tas ransel dan mengikuti perempuan itu berjalan ke depan.

“Stop di depan,” teriak perempuan itu.

Tapi bus terus melaju.

“Pak supir, stop, stop!” Aku berteriak membantu sambil terus mengikuti perempuan yang aku lupa belum bertanya siapa namanya.

Supir tiba-tiba terus memijit klakson berkali-kali. Penumpang terbangun semua.

“Baca ayat kursi, Mas!” teriak kondektur dengan nada cemas.

“Baca ayat kursi!” kondektur mendekatiku dan menepuk bahuku.

Aku seperti tersadar. Perempuan cantik yang mengajakku turun tadi sudah tidak ada.

*) Gol A Gong/Ungaran, 19 Februari 2024

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5