Saya kembali mengingat, bagaimana mulanya dan mengatasinya ketika si anak mengutarakan cita-cita yang tidak sesuai dengan harapan saya. Dialog seperti ini bisa kamu sesuaikan dengan bidang cita-cita anakmu. Kuncinya: empati + logika + kompromi. Contoh Dialog saya sebagai ayah dengan anak tentang cita-iita:

Anak:
“Ayah, aku mau ngomong serius. Aku udah mutusin, aku mau ambil sekolah desain grafis, bukan hukum.”

Saya:
“Desain grafis? Itu maksudnya gambar-gambar itu? Kamu yakin bisa hidup dari situ, Nak?”

Anak:
“Aku nggak cuma mau hidup, Yah. Aku mau hidup dengan cara yang bikin aku bangga dan bahagia. Aku udah bikin portofolio, ikut beberapa proyek freelance juga.”

Saya:
(diam sejenak)
“Ayah dulu ingin jadi pemain sepak bola. Tapi kakekmu suruh jadi pegawai. Ayah nggak pernah punya kesempatan ngelawan. Mungkin Ayah jadi terlalu keras sekarang karena takut kamu jatuh.”

Anak:
“Aku ngerti, Yah. Tapi dunia kita beda. Sekarang banyak teman seangkatan yang kerja dari rumah, bikin animasi, komik, bahkan ilustrasi buku pelajaran. Aku cuma minta kesempatan. Bukan jaminan sukses, tapi kesempatan.”

Saya:
“Ayah nggak minta kamu jadi kaya raya, Nak. Ayah cuma ingin kamu bisa bertahan, mandiri, dan dihormati. Bisa nggak kamu janjiin itu, sambil tetap kejar cita-cita kamu?”

Anak:
“Bisa, Yah. Bahkan aku akan buktikan. Cuma… tolong jangan larang dulu. Dukung aku dulu, meski belum yakin.”

Saya:
(menghela napas, lalu mengangguk pelan)
“Baiklah. Kalau itu yang kamu pilih, Ayah akan belajar percaya. Tapi kamu juga harus janji, jangan setengah-setengah. Kalau mau jadi seniman, jadilah yang tangguh, yang jujur, yang tidak lari dari kenyataan.”

Anak:
“Terima kasih, Yah. Itu cukup buat aku. Aku janji.”

Semoga dengan dialog ini, komunikasi hati antara anak dan orang tua terutama ayah terjalin dengan baik dan lancar. Saya sudah membuktikannya.

Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5