
Bapak dan Emak tiba di Kota Serang pada 1965 saat PKI dianggap hantu yang menakutkan bagi keutuhan negara. Teteh Dian dituntun Bapak, aku masih 2 tahun digendong Emak yang sedang mengandung Firman – putra ketiga. Kami berdiri di depan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri – sekarang jadi UPI – Horison, persis di depan sport hall, alun-alun Kota Serang. Di sebelah timurnya SDN1 dan SDN 2 (kelak aku sekolah di situ), sebelah kanan rumah dinas dokter – sekarang Hotel Mahadria. Di belakang bertetangga dengan SMPN 2, Kantor BMG, dan Rumah Sakit Umum Daerah.

Kami memasuki gerbang sekolah, semacam lobby. Ke kiri ada beberapa kelas. Ke kanan juga. Kami di tempatkan di ujung kiri arah timur yang dindingnya berdekatan dengan SDL XI. Sedangkan di ujung kanan yang bertetangga dengan rumah dinas dokter ditempati oleh keluarga Pak Adang – salah satu putranya jadi rekan seprofesi wartawan di Kelompok Kompas Gramedia, yaitu Iman Nur Rosyadi. Di belakang ada juga guru-guru lain seperti Pak Didi dari Tasikmalaya.


Saya tumbuh di asrama SPG, era 1970-an, yang betul-betul di jantung kota. Rumah kami berupa 1 ruangan kelas. Sedangkan untuk level Kepala Sekolah dan Wakilnya di Gedung Juang 45 – sekarang Dinas Perpustakaan Kota Serang. Saya memiliki akses yang tinggi ke informasi karena dekat dengan pendopo kabupaten, kantor pos, karesidenan pasar, dan bioskop. Terutama alun-alun yang jadi pusat peradaban kota. Bahkan juga kali Banten tempat kami orang Banten mandi sore – saat itu air sangat susah dan belum ada PDAM.

Hidup di asrama guru SPG penuh pasang surut degan beragam karakter. Suka-duka. Saya masih mengingat, bagaimana hidup bertetangga di asrama guru. ada cekcok mulut antar orang tua, kadang saling lempar piring-pancijuga merembet ke anak-anaknya. Bahkan ketika saya pulang sekolah di taman kanak-kanak yang lokasinya di karesidenan – sekarang Gedong Negara, di halaman SPGN itu, pernah dikeroyok Iman dan Icang – entah siapa lagi. Namanya anak-anak, ya. Saya masih berlengan dua waktu itu. Usia 5-6 tahun dikeroyok oleh teman sebaya jadi kenangan indah. Tapi saya punya sahabat anak sesama guru SPGN juga, namanya Reni Arifin, putra dari Pak Emon dari Tangkolo Ciamis, yang tinggal di Gedung Juang 45.

Begitulah hidup. Masa-masa sulit di asrama SPG dilalui Bapak-Emak. Firman adikku lahir pada 1965, kemudian jatuh dari ranjang, sakit panas, dan meninggal pada 1968. Adikku Gosal, masih bayi. Kematian Firman sangat membekas. Firman dimakamkan di Majid Agung At Tsauroh. Saya masih mengingatnya; jika makan selalu saya sisakan untuk Firman. Hingga SMP, 1976-79, saya masih menziarahinya seusai jumatan.

Setelah dewasa, saya pernah menanyakan peristiwa cekcok dengan tetangga itu. Kata Emak, “Itu biasa, masalah tetangga. Saling iri. Apalagi Emak satu-satunya perempuan yang bekerja. Hal lainnya, mereka menganggap kita pendatang dari Purwakarta.” Alhamdulillah, setelah cekcok justru sejak itu Emak dan keluarga lain jadi keluarga besar guru SPG.

Ketika di SMAN Serang, 1980-82, saya justru bersahabat dengan Iman. Dengan Reni semakin erat. Kami punya cita-cita sama, ingin jadi penulis. Saya, Iman, dan Rys Revolta (almarhum) beberapa kali ke Kompas Gramedia di Palmerah Selatan, menyetor tulisan. Kemudian di era 90-an, Iman jadi wartawan KOMPAS, saya di majalah HAI. Sedangkan dengan Reni membangun Cipta Muda Banten dan bermarkas di Gedung Juang 45.

Masa-masa sulit sebagai Keluarga Besar Guru SPGN Serang di Jl. Ki Mas Jong berhasil dilewati. Kami pindah mengontrak rumah di Kaloran, terus ke Kaujon Pasar Sore. Pada 1972, semua guru SPGN mendapatkan rumah yang layak. Ada yang ke Perumahan Ciceuri (di belakang Intermedia). Kami dan beberapa keluarga lainnya – ada guru SMPN 2 dan guru SDN 1 – menempati rumah kopel di Komplek Guru, Jalan Yusuf Martadila. Lokasinya di belakang SPGN itu yang bertetangga dengan SMPN 2 Serang.
*) Serang 17 April 2025

