
Oleh: Zaeni Boli
Sejak era Shin Tae-Yong (STY), Indonesia memiliki sosok yang kontroversial dalam diri Bung Towel, seorang pengamat bola yang berubah menjadi public enemy bagi penggemar Timnas Indonesia. Semua kebijakan dan taktik STY tak lepas dari kritiknya—kritik yang bagi banyak orang hanya didasarkan pada rasa benci semata.
Banyak yang menganggap kritik Bung Towel muncul karena ruang-ruang yang menguntungkan baginya tertutup. Ya, sejak era STY, Timnas Indonesia meraih prestasi yang belum pernah dicapai sebelumnya, termasuk lonjakan peringkat FIFA. Hal tersebut tentu membuat gerah para mafia bola yang selama ini nyaman dengan keterpurukan Timnas—kondisi yang selama bertahun-tahun nyaris stagnan.
Prestasi yang diraih STY justru menjadi sasaran kritik dari Bung Towel dan kawan-kawannya. Segala hal yang dilakukan STY terhadap Timnas Indonesia dikritisi habis-habisan. Jangankan saat kalah, saat menang pun Timnas tetap mendapat kritik—seolah-olah apa pun yang dicapai Timnas tak ada artinya di mata Bung Towel. Maka, tak heran jika gelombang kebencian terhadap Bung Towel semakin besar.
Namun, dengan penuh keyakinan, Bung Towel menjadikan dirinya sebagai public enemy bagi para pencinta sepak bola Indonesia. Sebuah sikap berani.
Dalam hidup yang singkat ini, kadang kita memang membutuhkan “musuh”—seseorang yang mengingatkan bahwa hidup harus dijalani dengan waspada dan tanpa rasa puas diri. Mungkin kita merasa sudah baik, tapi ternyata masih ada yang kurang. Karena kesempurnaan hanya milik Allah.
Ingat, di atas segala kebanggaan terhadap Timnas Indonesia, sikap kritis tetap dibutuhkan. Agar apa yang telah diraih bisa terus ditingkatkan. Satu hal yang pasti: Timnas Indonesia belum benar-benar berada di Piala Dunia. Masih dibutuhkan perjuangan dan daya juang yang sungguh-sungguh—tanpa kenal menyerah.

