
Oleh: Rosa Indiarto
Seberapa mengerikannya gambaran rasisme dan bullying di sekolah anak-anak kita? Joko Anwar kembali memukau penonton lewat besutan film terbarunya berjudul Pengepungan Di Bukit Duri. Film yang naskahnya telah dipersiapkan oleh Joko Anwar sejak 17 tahun yang lalu ini mengangkat latar belakang kerusuhan di Jakarta yang terjadi pada tahun 2027 mendatang.
Film yang dibuka dengan adegan flashback pada kerusuhan di Jakarta pada tahun 2007 ini mengangkat kisah Edwin (Morgan Oey), seorang guru pengganti berdarah Tionghoa ketika mengajar di SMA Duri, sekolah khusus untuk anak-anak bermasalah. Edwin yang ternyata memiliki misi pribadi untuk menemukan keponakannya yang hilang, merasa yakin bahwa keponakan yang ia cari ada di sekolah tersebut.

Edwin bertemu dengan Jefri (Omara Esteghlal), seorang murid yang memimpin circle anak-anak nakal di sekolah itu. Ia juga akrab dengan Diana (Hana Pitrashata Malasan), seorang guru perempuan yang menaruh hati padanya. Juga Kristo (Endy Arfian), seorang murid yang ia curigai sebagai keponakannya yang hilang serta Rangga (Fatih Unru), sahabat Kristo yang setia.
Kisahnya bergulir tegang ketika Edwin berseteru dengan Jefri. Konfliknya memuncak ketika Jefri dikeluarkan dari sekolah akibat kekerasan yang ia lakukan kepada Edwin. Hingga pada saat kerusuhan akibat diskriminasi pecah di Jakarta, Edwin beserta Diana, Kristo dan Rangga yang saat itu sedang berada di sekolah, diburu oleh gerombolan Jefri yang dikuasai dendam kesumat terhadap Edwin. Mereka berempat dikepung di sekolah dan suasana berubah menjadi semakin brutal ketika satu demi satu tewas mengenaskan.
Film menegangkan berdurasi 1 jam 58 menit ini diproduksi atas kerjasama rumah produksi lokal Come And See Pictures dengan MGM Amazon Studios, sebuah studio besar Hollywood. Joko Anwar dengan piawai meramu genre thriller psikologis seperti film Dangerous Minds (1995) namun berlatar belakang kerusuhan di Indonesia seperti kerusuhan tahun 1998. Film ini memuncak menjadi sebuah horror berupa gambaran kesadisan bullying serta betapa mengerikannya dampak dari anarki kolektif rasisme di Indonesia.Â

Ada isu menarik yang diangkat oleh Joko Anwar. Kali ini, ia menyoroti kelamnya dunia pendidikan di Indonesia. Ia mengangkat sosok Edwin, guru berdedikasi yang berjuang hidup dan mati dalam pusaran rasisme serta trauma masa lalu akan kerusuhan 2007 yang menghantuinya. Juga Jefri, seorang tokoh antagonis yang menjadi metafora dari apa yang disebut oleh Carl Jung sebagai the shadow, sisi gelap seorang manusia berupa kemarahan terpendam yang pada akhirnya meledak menjadi insting primitif berupa keinginan untuk menghancurkan orang lain tanpa sebab yang jelas. Keduanya bertemu dalam skala kehidupan berpendidikan yang indah bernama sekolah, hingga kemudian berubah menjadi neraka.
Saya teringat pesan Carl Jung, yang meyakini bahwa rasisme dan bullying dipicu oeh proyeksi; sebuah mekanisme pertahanan diri yang memiliki kecenderungan untuk memproyeksikan aspek negatif dari diri sendiri kepada orang lain, khususnya kepada kelompok orang yang berbeda. Pada rasisme, proyeksi muncul sebagai rasa terancam oleh perbedaan budaya dan fisik seperti perbedaan kelas sosial yang mencolok.
Pada bullying, proyeksi muncul sebagai keinginan untuk menguasai dan menghancurkan yang lemah. Keduanya adalah produk yang terlahir dari lingkungan tanpa pendidikan yang mampu menciptakan kebahagiaan dan pencarian makna kehidupan. Bukan melulu sebuah pengajaran.

Film ini berhasil menciptakan horor yang luar biasa seram, ketika guru-guru justru merasa terancam oleh murid-muridnya sendiri. Sebuah horor yang patut kita renungkan bersama, betapa kengerian itu juga terasa pada orangtua yang memiliki anak tanpa budi pekerti yang luhur, atau anak-anak tanpa sosok orangtua yang dibutuhkan saat dirinya mulai membutuhkan kebermaknaan. Sebuah keadaan yang oleh para filsuf disebut dengan neraka; simbol dari kegagalan manusia dalam mencapai kebahagiaan dan tujuan hidup yang bermakna.
Film Pengepungan Di Bukit Duri juga menampilkan akting yang memukau dari para pemainnya, serta kejeniusan Joko Anwar yang menciptakan semesta di dalam setiap karyanya. Anda penasaran? Saksikan film ini yang tayang perdana pada tanggal 17 April 2025 serentak di bioskop-bioskop Indonesia.

