
Oleh: Zaeni Boli
Saya memposisikan diri sebagai penonton awam yang menonton pertunjukan dari kanal YouTube TV Tempo, tepatnya pada 17 April 2025 pukul 14.00 WIB. Pertunjukan teater ini berasal dari Komunitas Teater Payung Hitam, Bandung, yang beberapa waktu lalu sempat dilarang pentasnya di ISBI Bandung.
Sebagai sebuah pertunjukan yang pernah dilarang, saya, sebagai penonton, memiliki ekspektasi besar terhadap pementasan ini—terlebih karena nama besar Teater Payung Hitam dan sutradara Rahman Sabur, sosok yang telah dikenal luas di dunia teater Indonesia. Seolah-olah, semua ini menjadi jaminan pertunjukan yang wow. Namun ternyata, kita tak selalu bisa menggantungkan harapan terlalu tinggi pada sebuah pertunjukan.
Saya memang bukan penonton ahli, apalagi dalam seni pertunjukan teater. Tapi saya memiliki harapan yang tinggi terhadap pertunjukan Teater Payung Hitam, terutama kali ini, yang berjudul Wawancara dengan Mulyono. Nama “Mulyono” tentu bukan nama asing. Nama ini sering kita dengar dan baca—nama seseorang yang sepak terjangnya bisa ditebak oleh siapa pun yang mengikuti perjalanan sosial-politik Indonesia, lengkap dengan pro dan kontra yang menyertainya selama menjabat.

Tujuan pertunjukan ini, setidaknya seperti yang disampaikan di awal pementasan, tampaknya bukan untuk mengorek luka lama atau mencari siapa yang benar atau salah, melainkan sekadar membicarakan sosok tersebut dari perspektif awam. Namun, dalam monolog atau teks-teks yang disampaikan oleh Rahman Sabur, terasa jelas bahwa pertunjukan ini jauh dari sekadar pertanyaan-pertanyaan awam. Justru terasa penuh kritik, simbol, dan penafsiran yang dalam.
Sementara itu, tokoh yang memerankan Mulyono dengan gaya pantomim terasa kurang menggigit atau kurang menarik. Mungkin ini karena saya menontonnya secara daring, bukan langsung di tempat. Menonton dalam jaringan memang memiliki keterbatasan—auranya tak sampai sepenuhnya ke penonton. Inilah salah satu kelemahan pertunjukan dalam jaringan.
Namun, satu elemen berhasil mencuri perhatian dan bahkan membuat saya gagal fokus: adegan seorang perempuan yang sepanjang pertunjukan seolah-olah mencuci kain putih bermotif wajah manusia. Ini bisa ditafsirkan bermacam-macam oleh penonton. Tafsir paling sederhana mungkin adalah usaha “mencuci nama” dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Bisa juga dibaca sebagai metafora “money laundering”—siapa yang tahu?
Sekali lagi, ini hanya pendapat saya sebagai penonton awam. Pembaca tulisan saya, khususnya yang juga menonton, tentu boleh memiliki pandangan yang berbeda. Namun, bagi saya, Teater Payung Hitam selalu membawa ekspektasi tinggi—terutama setelah pengalaman mereka menghadapi rezim Orde Baru dan masa-masa setelahnya. Pertunjukan-pertunjukan mereka biasanya sangat berkelas dan membekas dalam ingatan.

