
Oleh: M N Fazri
Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai berita dan peristiwa mengenai asusila, tawuran, perundungan, begal, pembunuhan dan kasus lainnya selalu menyeret generasi muda di Indonesia.
Satu babak yang mencoreng nama baik seorang muda, bagaimana dulu Ir. Soekarno berkata “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan aku guncangkan dunia”. Pemuda memiliki potensi dan kekuatan besar untuk membawa perubahan besar di dunia.

Namun, naasnya saat ini generasi muda telah mengalami krisis modal yang mendalam. Jika boleh saya berpendapat, ” Beri aku 10 pemuda, akan aku hancurkan kelompok pemuda lainnya.” Begitu mungkin pidato yang pas untuk melihat krisis moral pemuda saat ini.
Bukan tanpa alasan, berbagai peristiwa dari kekejaman pemuda telah ramai diperbincangkan di sosial media. Sebagai contoh yang sedang viral saat ini adalah mutilasi yang dilalukan oleh seorang pemuda berusia 23 tahun kepada pacarnya sendiri yang masih 19 tahun. Peristiwa yang terjadi di daerah Kab Serang, Banten (lihat instagram @infoserang).
Alih-alih berdoa dalam hati semoga keluarga kita tidak mengalami nasib serupa, tapi bagi sebagian orang peristiwa di atas menjadi pertanyaan mendalam. Mengapa hal itu bisa dilakukan oleh pemuda?
Mengutip buku “Pendidikan Karakter” karya Dyah Sriwilujeng, faktor utama yang mempengaruhi krisis moral bagi pemuda diawali dari rumah (keluarga). Kontribusi orang tua sangat penting untuk mendukung pendidikan dan komunikasi dengan stakeholder lain, seperti sekolah, komunitas, organisasi dan sebagainya.
Seorang anak yang sering mendapatkan kekerasan fisik dan mental, melihat pertengkaran orang tua, mendengar kata-kata umpatan atau sering melihat perilaku yang tidak bagi orang tua. Ia akan meniru secara ulung, sebagaimana buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Lebih jauh, ketika anak sudah tidak mendapatkan syurga di rumahnya sendiri, ia akan mencari kesenangan dan melampiaskan kepada hal lain, terkadang adalah jebakan syetan (nafsu). Bermula dari tontonan di hpnya melihat tontonan dewasa atau kekerasan, ia merasa senang dengan hal itu, lalu terbesit untuk mempraktekkannya.
Atau nantinya seorang anak akan mencari hiburan di malam malam keheningan, bermain dengan kaum kerdil, lalu merasa dengan itu hidupnya bebas dan bahagia.
Bisa jadi ia juga akan mencari pelampiasan dengan mencari pasangan, berawal dari kemesraan berujung penyesalan karena bertahun-tahun bersama, gejolak nafsunya membabi buta.

Kasih sayang orang dan pendampingan anak-anak adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Rumah harus menjadi syurga yang selalu dirindukan kehadirannya, supaya generasi muda tidak takut untuk bercerita atau sekedar curhat kepada orang tuanya sendiri, tentang apa-apa yang sedang ia alami, rasakan dan pikirkan.

