Saya duduk merenung di rumah Kartini di Rembng. Juga di Jepara. Saya membayangkan betapa malang R.A. Kartini – dia meninggal pada usia yang sangat muda—hanya 25 tahun. Ia wafat pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Penyebab kematiannya diyakini karena komplikasi pasca persalinan, yang waktu itu tentu saja belum ditangani dengan teknologi atau layanan medis seperti sekarang.

Mestinya Kartini bisa lebih panjang usinya. Bisa lebih banyak berbuat bagi nasib perempuan Jawa. Saat itu, Kartini baru menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Meskipun banyak yang menganggap pernikahan itu sebagai bentuk kompromi terhadap cita-cita kebebasannya, dalam kenyataannya sang suami justru mendukung Kartini untuk tetap melanjutkan perjuangannya, termasuk mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi.

Yang bikin haru, meskipun hidupnya begitu singkat, pemikirannya sangat visioner dan melampaui zamannya. Melalui surat-suratnya yang dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang), Kartini mewariskan semangat pembebasan dan pendidikan bagi perempuan yang terus dikenang sampai sekarang. Ironis ya—hidupnya pendek, tapi pengaruhnya abadi.

Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5