
Oleh: Anas Al Lubab
Judul : Perangkap Pikiran Beni Kahar dan cerita-cerita istimewa lainnya
Penulis : Ade Ubaidil
Penerbit: AG Publishing
Cetakan: Desember 2024
Tebal: viii+196 halaman
Bagi orang awam seperti saya, serbuan peristiwa yang merangsek setiap hari akan berlalu begitu saja, karena intensitas peristiwa satu dengan peristiwa berikutnya rasanya terlalu cepat untuk direspon, tak ada waktu untuk sekadar mencatat apalagi merenungkannya.
Tapi tidak dengan Ade Ubaidil (selanjutnya disingkat AU), melalui kumcer terbarunya ini, ia begitu telaten merekam dan merespon peristiwa demi peristiwa yang mungkin mengusik ketenangan pikiran dan batinnya menjadi bahan cerita yang kaya dan meyakinkan.
Peristiwa keseharian yang rata-rata pernah kita alami, diolah oleh pikiran kreatif AU menjadi sesuatu yang membuat kita merenung dan kadang kejengkelan kita terwakilkan oleh karakter tokoh yang ia tampilkan.
Pendapat yang menyatakan tak ada peristiwa baru di kolong langit rupanya benar adanya, yang membedakan dari seorang cerpenis adalah bagaimana cara ia menceritakannya. Hal yang sama diceritakan dengan cara yang baru bisa menerbitkan kesegaran dan pemikiran baru. Begitulah kira-kira.

Kita ambil beberapa contoh peristiwa keseharian yang ditangkap AU untuk bahan cerita; melihat pengemis di pinggir jalan dan angkot ngetem nyari carteran, lahirlah cerita “Mata Rantai Kebaikan”.
Yang mengangkat tema kebajikan universal lintas agama, Segendang sepenarian dengan cerpen “Bakiak Ustadz Qudsi” yang mengingatkan kita pada kisah klasik pelacur yang masuk surga hanya karena memberikan jatah minumnya pada seekor anjing yang kehausan.
Menyaksikan demo penolakan gereja lahirlah cerita “Tak Ada Gereja di Kota Ini” mengusung tema dominasi patriarki, bisnis prostitusi, hingga sikap intoleransi. Bahkan menyaksikan pemberitaan koruptor di televisi melahirkan cerita yang dari titi mangsanya hingga harus diselesaikan dalam jangka waktu kurang lebih 5 tahun, bisa kita baca cerita LIFT (Dibaca: Leave) yang dengan meyakinkan AU berhasil menampilkan siksaan batin pelaku korupsi yang dibayang-bayangi seribu ketakutan.

Namun saya pribadi menilai hal itu hanya terjadi di dunia fiksi atau di lirik lagunya Slank. Bagaimana tidak, sering kita saksikan para koruptor yang tertangkap tangan dengan kurang ajar dan tanpa rasa bersalah sempat-sempatnya dadah-dadah ke kamera para wartawan. Brengsek bukan?
AU pun tidak puas dengan gaya bercerita konvensional, ia pun mengeksplorasi pelbagai gaya penceritaan dari realis hingga surrealis, bahkan ada satu cerita berbau Surrealis yang AU akui sebagai hasil Brainstorming dengan AI, hal ini bisa kita tengok di cerita pamungkas di buku ini yang berjudul “Tidak Ada Seandainya” yang sedikit menarik ingatan saya pada Novel Cantik Itu Lukanya Eka Kurniawan.
Saya tak akan mengulas semua cerpen AU di buku ini satu per satu, saya hanya ingin mengatakan AU telah berhasil memanfaatkan keleluasaannya sebagai cerpenis untuk bebas merespon aneka peristiwa yang menggangu pikirannya.

Bahkan ada satu cerpen yang (mungkin) karena puncak kejengkelannya akan seorang tokoh pemimpin yang dirasa banyak menyengsarakan rakyat, AU hingga menggambarkan kematian tragis secara ekstrem terbunuhnya si tokoh dengan cara mutilasi yang keji dan mengenaskan.
Ke-14 cerpen yang AU sajikan apabila kita baca dengan baik akan memunculkan bekal refleksi yang menghibur dan sarat hikmah. Bukan tidak mungkin, obrolanmu dengan AU kelak bakal ia ambil sebagai cerita istimewa di karya-karya AU berikutnya.

