Oleh: Justicia

Keigo Higashino, sang novelis misteri asal Jepang, menghadirkan konsep kejahatan yang paling sederhana namun paling berbahaya. Mengapa? Karena siapa sangka, setiap orang bisa menjadi pembunuh hanya bermodalkan perasaan.

Keigo dengan lihai memanfaatkan sifat manusia itu sendiri sebagai dasar untuk melakukan kejahatan terbesar: menghilangkan nyawa seseorang. Sifat jahat manusia lahir dari respons alami dalam interaksi antarmanusia.

Namun, jika pengelolaan emosionalnya keliru dan lingkungan sosialnya negatif, hasilnya pun akan negatif. Pernah dengar, kan? Respons setiap orang itu berbeda-beda. Yang dimaksud adalah hasil dari pengelolaan emosional masing-masing individu.

Contoh mudahnya, ketika melihat teman kita bisa membeli mobil dari hasil usahanya sendiri, respons pertama banyak orang adalah rasa iri. Dari rasa iri itu, ada yang menilainya secara positif, menjadikannya motivasi, sehingga lahirlah respons yang sehat: turut bahagia atas pencapaian temannya.

Namun, ada juga yang justru merasa marah karena bukan dia yang meraih hal itu. Dari sinilah iri bisa berubah menjadi dengki, yang mendorong seseorang memberikan respons negatif terhadap temannya, misalnya dengan meremehkannya hanya demi merasa lebih baik atau lebih tinggi.

Dalam novelnya kali ini, Keigo menggambarkan betapa berbahayanya sosok teman yang munafik—teman yang bisa mematikan. Novel ini menunjukkan kemampuan manusia dalam mengeksekusi setiap ide menjadi tindakan, bahkan melampaui batas kemampuannya, jika ia memiliki tekad yang kuat.

Sesuai dengan judul bukunya, Malice, pelaku kejahatan dalam kisah ini bukan hanya manusia, tapi emosi manusia itu sendiri yang bernama “dengki”. Rasa dengki menjelma menjadi wujud nyata karena pengaruhnya yang kuat dalam membutakan hati dan menghasut manusia untuk berbuat jahat.

Kali ini, cerita tidak lagi berfokus pada bagaimana pembunuhan terjadi—cara, alat, dan sebagainya—melainkan pada alasan di balik terjadinya pembunuhan tersebut. Meninggalnya Hidaka Kunihiko menimbulkan kesan janggal, terutama karena keterlibatan Nonoguchi Osamu, sahabatnya sekaligus tersangka utama.

Biasanya, pembunuh akan berbohong demi menyelamatkan diri. Namun, dalam kisah ini, sang pelaku justru berbohong demi membentuk ‘kebenaran’ berdasarkan asumsi publik tentang dirinya.

Permainan logika di dalam novel ini sangat menarik dan menjadi kunci dalam pemecahan kasus. Beberapa konsep psikologi seperti reverse psychology, sikap narsistik, serta kompleks inferioritas dan superioritas menjadi dasar perilaku dan tindakan pelaku.

Senjata yang digunakan tidak lebih berbahaya dari benda-benda di sekitar kita. Yang berbahaya adalah sifat jahat manusia yang mampu mengubah seseorang menjadi monster, ketika akal sehat dan nurani sebagai inti kemanusiaan hilang.

Tentunya, peran keluarga dan lingkungan sekitar turut berpengaruh besar dalam perkembangan psikologis seseorang. Lagi-lagi, keutuhan dan keharmonisan rumah tangga terbukti memberikan dampak nyata bagi masa depan seseorang. Dalam menjalani hidupnya sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan pondasi yang kuat dari rumah.

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5