
Oleh: Zaeni Boli
Ini bukan sekadar soal politik, tetapi tentang menyuarakan ketidakadilan yang terjadi. Seorang khalifah, Umar bin Khattab, pernah berkata:
Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu,
agar mereka berani melawan ketidakadilan.Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu,
agar mereka berani menegakkan kebenaran.Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu,
agar jiwa-jiwa mereka hidup.Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu,
sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.(Umar bin Khattab)
Baru-baru ini, dalam sebuah konser besar, grup band Green Day lantang menyuarakan ketidakadilan dalam Festival Corona Capital di Meksiko. Seruan mereka tersebar luas ke seluruh dunia. Green Day dengan tegas menyatakan dukungan mereka terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Seorang seniman atau kelompok seni yang telah memiliki nama besar seperti Green Day bisa menjadikan kesenian—dan pengaruhnya—sebagai alat perjuangan. Itulah pentingnya sebuah karya seni: memiliki daya pengaruh dan dampak yang bisa digunakan untuk memperjuangkan keadilan.
Di Indonesia sendiri, kesenian telah lama menjadi alat perjuangan. Chairil Anwar, misalnya, lewat puisi-puisinya telah menggugah semangat juang pada masa revolusi.
Dalam sebuah kutipan yang pernah disampaikan John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat pada tahun 1960-an, beliau berkata:
“Jika politik bengkok, maka sastra yang akan meluruskan.”
Hari ini, ketika keadilan belum benar-benar tegak, para seniman wajib menyuarakan ketidakadilan agar penguasa tahu bahwa seniman selalu ingin berdiri bersama orang-orang yang ditindas dan belum mendapatkan keadilan.
Jangan lupa, hingga hari ini, momen Kamisan di depan Istana masih terus disuarakan—menandakan bahwa keadilan mesti terus diperjuangkan.

