Oleh: Justicia

Agatha Christie, sang ratu misteri, tentunya nggak pernah gagal dalam menyajikan kisah-kisah konflik misteri dan penyelesaian yang mencengangkan. Gaya penulisannya yang cenderung lebih sadis dalam menggambarkan detail peristiwa, memberikan perasaan eerie saat membaca setiap halamannya.

Kali ini, dalam karyanya yang berjudul And Then There Were None, dengan konsep misteri dalam grup yang diisolasi—sebenarnya bukan tema yang benar-benar spesial—tapi yang membuat cerita ini jadi luar biasa adalah alasan di balik setiap tindakan atau keputusan para tokohnya, serta penyelesaian konfliknya.

And Then There Were None menceritakan tentang sepuluh orang yang diundang ke sebuah mansion di sebuah pulau, tapi ternyata itu cuma tipu daya untuk mengisolasi mereka. Seiring berjalannya cerita, terungkap kalau kesepuluh orang itu punya masa lalu kelam, di mana mereka adalah pelaku kejahatan yang berhasil lolos dari ‘keadilan’.

Satu per satu mereka pun ‘diadili’ di pulau itu, sesuai dengan dosa masa lalu masing-masing. Sepuluh orang, sepuluh eksekusi—dan menariknya, Agatha Christie nggak kehabisan ide untuk membuat setiap eksekusi terasa unik dan berbeda.

Spoiler

Nggak semua orang suka dikasih tahu akhir cerita. Ku sendiri nggak mempermasalahkan itu, karena yang jadi pertimbanganku adalah bagaimana penyampaiannya. Eksekusi ide ceritanya berhasil disajikan dalam narasi yang menarik dan bikin beda dari tulisan-tulisan lain.

Plot twist menarik di akhir cerita adalah ketika pelaku pembantaian ternyata adalah seorang petugas hukum—seseorang yang seharusnya menuntaskan kejahatan dan menegakkan keadilan. Yang lebih menyeramkan, semua tindakan itu dilakukan atas nama ‘keadilan’.

Konsep keadilan di sini jadi multitafsir. Apakah keadilan itu ketika semua orang diperlakukan secara setara? Atau justru keadilan itu fleksibel—tergantung siapa orangnya, status sosialnya, kemampuannya, hartanya? Ini bikin keadilan terasa beda-beda buat setiap individu.

Lalu, gimana kalau standar keadilan menurut seseorang ternyata bertentangan dengan sistem keadilan yang berlaku? Kalau seseorang tetap bersikeras pada definisinya sendiri tentang keadilan, apakah tindakannya masih bisa disebut adil?

Keadilan yang cuma didasarkan pada nilai ideal pribadi atau pandangan subjektif, lama-lama cuma akan memupuk ego dan membutakan—dengan mengatasnamakan keadilan untuk melakukan penyimpangan.

Ketika keadilan sudah ‘membutakan’ seseorang, sudut pandangnya berubah: dia membenarkan setiap tindakannya, dan membenci apa pun yang menyimpang dari nilai keadilan versinya. Kejahatan memang harus diadili, tapi apakah kejahatan yang dilakukan atas nama keadilan bisa dimaklumi?

Bio Justicia
Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5