
Oleh: Justicia
Jumbo, film animasi karya anak bangsa yang sangat membanggakan ini, tetap mendapat pujian walau sudah hampir sebulan tayang di bioskop. Penontonnya pun masih ramai, lho! Totalnya sudah mencapai 5.000.000 penonton!
Secara animasi dan cerita, film ini memang ditujukan terutama untuk anak-anak. Namun, justru banyak penikmat film ini adalah orang dewasa. Kok bisa gitu, ya? Karena para penonton dewasa tersebut tidak hanya menikmati animasi dan musiknya saja, tetapi juga menangkap makna yang disampaikan lewat film ini. Alhasil, banyak orang dewasa yang mengakui bahwa saat menonton Jumbo, anak kecil di dalam dirinya ikut menonton—dan kembali “hidup”!
Pesan moral yang disampaikan JUMBO memberikan kesan tersendiri bagi penonton dewasa. Rasanya seperti a healing to my childhood.
Dalam film ini, setiap anak ternyata memiliki masalahnya masing-masing. Yang membedakan adalah privilege yang dimiliki setiap anak. Tidak dapat dipungkiri, privilege cukup berperan dalam perkembangan anak, ditambah kondisi sosial lingkungan juga memberi pengaruh besar dalam pembentukan pola pikir mereka.
Anak kecil saja punya masalah dan beban sendiri, apalagi orang dewasa? Semua orang ingin didengar, karena dengan didengar, kita merasa dianggap dan diakui. Tapi karena semua orang punya cerita, semua orang juga bercerita. Lalu, siapa yang mendengarkan?
Rasa egois dan rakus memang sudah jadi bagian dari sifat buruk manusia. Beberapa pengorbanan dibutuhkan untuk menjaga harmonisasi dalam kehidupan sosial. Berbuat baik kepada orang lain nggak akan pernah salah. Karena kita nggak pernah tahu masalah apa yang sedang dihadapi orang tersebut—dan setiap orang punya alasan di balik setiap tindakannya.
Salah satu tokoh dalam Jumbo adalah Atta, seorang anak yang suka membully temannya. Tapi ternyata, tindakan buruk yang ia lakukan berasal dari rasa inferior dalam dirinya. Ditambah kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan, Atta merasa iri pada anak-anak lain. Amarah yang ia pendam dilampiaskan dengan merendahkan orang lain, agar ia bisa merasa lebih baik dan terlihat dominan di depan teman-temannya.
Dalam film ini, salah satu cara menangani anak seperti Atta adalah dengan mendengarkannya. Ternyata, Atta adalah anak yang baik dan nggak segan bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Ia juga termasuk anak yang pintar. Atta hanya ingin didengarkan—agar ia merasa diakui dan bisa berbagi keluh kesahnya.
Lalu ada Don, tokoh utama dalam Jumbo. Ia terbiasa dituruti semua keinginannya, dan selalu “didengarkan” oleh teman-temannya. Don hidup lebih mudah karena privilege yang dimilikinya. Tapi suatu ketika, ia kehilangan teman-temannya karena keegoisannya.
Ia terbiasa dengan semua hal tersedia untuknya, hingga akhirnya ia menyadari bahwa selama ini ia hanya menuntut tapi jarang memberi timbal balik. Pada akhirnya, Don membuktikan bahwa ia bisa berubah—dengan mengorbankan dan mengikhlaskan sesuatu yang sangat berharga baginya demi kebahagiaan orang lain dan kebersamaan.
Jumbo mengajarkan kita untuk jadi pendengar yang baik—terutama saat ada orang yang membutuhkannya. Sekarang ini, jangan malah “adu nasib”! Setiap orang punya masalahnya masing-masing.
Setiap orang juga punya cerita dan ingin didengarkan. Jadi, apa salahnya gantian? Semua orang punya waktunya sendiri untuk jadi pendongeng dan pendengar. Jangan egois, cuma mau didengar tapi nggak mau mendengarkan. Karena walaupun “hanya” didengarkan, itu sangat berarti.
To be loved is to be heard and to be seen.

