
Oleh: Naufal Nabilludin
Kemarin, saat sedang scroll Instagram, saya menemukan potongan podcast Annisa Steviana, seorang perencana keuangan, yang sedang berbincang dengan Tommcifle.
Ada satu kalimat yang langsung membuat saya tertegun:
Banyak orang kena pinjol itu karena dia gak bisa nunggu punya uang untuk beli sesuatu. Jadi kemampuan menunggunya gak ada.
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi maknanya dalam sekali. Saya spontan bertanya ke diri sendiri, “Apakah saya juga begitu?”
Jujur saja, saya termasuk orang yang pernah dan masih memanfaatkan kemudahan pinjaman online untuk membeli barang yang saya inginkan. Rasanya gampang, cepat, tinggal klik, dan barang datang. Walaupun saya selalu memperhitungkan dan tidak pernah gagal bayar, tapi apakah itu keputusan yang bijak?
Dari situlah saya mulai merenung dan merasa perlu menuliskan ini. Bukan untuk menggurui, tapi lebih sebagai catatan pribadi—semacam pengingat untuk diri saya sendiri dan siapa tahu, mungkin juga untuk kamu yang sedang membaca ini.
Marshmallow dan Ujian Kesabaran
Pikiran saya kemudian terlempar ke satu eksperimen psikologi terkenal: Marshmallow Test.
Eksperimen ini dilakukan oleh Walter Mischel di tahun 1970-an. Anak-anak diberikan satu marshmallow dan dua pilihan:
- Makan marshmallow itu sekarang.
- Menunggu beberapa menit dan mendapat dua marshmallow.
Ternyata, tidak semua anak bisa menunggu. Sebagian langsung memakan marshmallow itu. Sebagian lagi mencoba menahan diri tapi akhirnya menyerah. Namun ada juga yang berhasil menunggu hingga mendapatkan dua marshmallow.
Dan yang menarik, puluhan tahun kemudian, para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang mampu menahan diri dan menunda kesenangan sesaat, tumbuh menjadi individu yang lebih sukses, lebih stabil secara emosional, dan lebih baik dalam mengatur hidup mereka.
Tentang Menunggu dan Mengendalikan Diri
Dari eksperimen itu saya belajar, ternyata kemampuan untuk menunda kesenangan instan demi hasil yang lebih di masa depan bukan cuma penting, tapi berdampak besar dalam hidup.
Yang kemudian hal ini disebut delayed gratification atau penundaan kepuasan. Keterampilan ini dapat membantu kita mencapai tujuan jangka panjang dan menghindari impulsif dalam mengambil keputusan.
Coba bayangkan skenario ini:
Kamu sedang menabung untuk membeli rumah impian. Tapi di saat yang sama, muncul promo liburan ke tempat yang sangat kamu inginkan. Healing, katanya. Rasanya pasti sangat menggoda. Apalagi setelah kerja keras selama ini.
Kalau kamu memutuskan untuk tetap fokus menabung dan menunda liburan itu, berarti kamu sedang mempraktikkan delayed gratification. Kamu memilih untuk menunda kesenangan sementara demi pencapaian yang lebih besar di masa depan.
Menghadapi Dunia yang Serba Instan
Hari ini, kita hidup di dunia yang serba cepat dan instan. Makanan cepat saji, belanja online, konten kilat di media sosial—semuanya serba “sekarang juga.” Sayangnya, pola pikir ini juga menjalar ke cara kita mengambil keputusan, termasuk dalam hal keuangan.
Anak-anak muda dan termasuk saya di dalamnya seringkali terjebak dalam pola instant gratification. Di mana kepuasan cepat dianggap lebih penting daripada pertimbangan jangka panjang. Beli barang karena lapar mata, bukan karena benar-benar butuh. Bayar pakai paylater, karena gajian masih minggu depan.
Padahal, jika kita bisa melatih diri untuk sedikit lebih sabar, sedikit lebih mampu menunda, banyak hal besar bisa kita capai. Bukan berarti kita tidak boleh bersenang-senang, tapi lebih ke: apakah ini benar-benar perlu sekarang? Atau bisa ditunda demi sesuatu yang lebih berarti?
Satu Marshmallow Sekarang, atau Dua Nanti?
Ternyata kemampuan menunggu bukan soal kuat atau tidak kuat. Tapi soal visi. Soal seberapa jauh kita bisa melihat ke depan dan menghargai masa depan kita.
Jadi, hari ini saya belajar lagi satu hal penting: bahwa dalam hidup, kadang kita perlu rela tidak mengambil satu marshmallow sekarang… supaya bisa mendapatkan dua marshmallow nanti.
Dan semoga, perlahan-lahan, kita semua jadi orang-orang yang bisa menunggu—untuk hal-hal yang benar-benar layak ditunggu.

