
Oleh: Aii Aayy
Pernah nggak sih lihat anak yang tantrum, guling-guling di mal karena pengin sesuatu?
Mungkin ada sebagian orang tua yang langsung membelikan barang yang diinginkan si anak agar dia berhenti guling-guling. Tapi ada juga orang tua yang membiarkan anak itu tantrum karena sedang melihat bagaimana si anak meregulasi emosi dan merespons kekecewaan yang ia terima.
Kemarin, aku dibuat penasaran saat melihat cuplikan podcast Annisa Steviana di kanal Suara Berkelas, yang membahas tentang parenting dan perencanaan keuangan. Tanpa pikir panjang, aku langsung membuka kanal YouTube-nya dan menontonnya sampai selesai. Salah satu pembahasannya adalah tentang bagaimana menghadapi anak yang tantrum tadi.
Tentu ini jadi pengetahuan baru buatku. Di antara dua sikap orang tua yang disebutkan di atas, dulu aku mungkin akan menilai, “Kok tega sih membiarkan anaknya guling-guling di tempat umum dan menangis histeris?” Ternyata, tindakan orang tua yang benar justru yang kedua.
Setelah menonton podcast itu, aku baru sadar: nggak apa-apa loh membiarkan mereka tantrum sampai guling-guling di depan orang banyak. Karena, justru ini bentuk sayang kepada anak—bahkan bentuk kepedulian terhadap masa depannya. Ini adalah momen di mana kita sedang melihat bagaimana anak merespons rasa marah dan sedih karena apa yang ia inginkan tidak bisa langsung ia dapatkan.
Selain itu, supaya anak bisa lebih paham, buatlah perjanjian atau kesepakatan sederhana dengan anak: ketika menginginkan sesuatu, harus sesuai jadwal atau harus menyelesaikan satu kewajiban terlebih dahulu. Misalnya, ketika anak ingin membeli sepeda, ia harus belajar setiap malam dan bangun pagi. Selain melatih kegigihan, kerja keras, dan kesabaran anak, hal ini juga melatih anak agar bisa menunda kesenangan—karena nggak semua hal bisa didapat secara instan.
Tanpa disadari, perlakuan seperti ini akan berpengaruh di masa dewasa nanti. Seperti yang dikatakan Annisa Steviana dalam podcast-nya, “Orang dewasa memang harus bekerja untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Kalau tidak bekerja, siapa yang akan memberi?”
Jiwa optimis dan semangat untuk berusaha memang sebaiknya ditanamkan sejak kecil, karena itu akan menjadi habit di kemudian hari. Terbuka soal keuangan kepada anak juga bukan hal yang harus dihindari. Justru dengan begitu, kita memberi ruang agar anak mengerti arti kebahagiaan yang datang setelah ia belajar bersabar menunggu.
