Oleh: Zaeni Boli

Saya beruntung, Mamanya Lesa adalah penikmat seni yang menurut saya cukup ekstrem. Sayangku ini tiap hari datang ke Festival Bale Nagi, meski tak lama, karena saya masih ada satu dua pekerjaan yang belum tuntas. Festival Bale Nagi tahun ini, buat kami sekeluarga, adalah tempat healing paling murah dan terjangkau dari tempat kami tinggal.

Orang boleh saja pro dan kontra tentang festival ini, tapi buat kami sekeluarga, ini adalah oase. Di mana lagi kami bisa menyaksikan tontonan-tontonan yang kaya makna ini? Beberapa pertunjukan pada gelaran kali ini kayaknya bakal punya rasa berbeda dibandingkan jika harus menyaksikannya dari gadget — mungkin suara yang hilang, tak timbul, atau kendala teknis lain. Kalau nonton langsung di lokasi, paling tidak kita dapat merasakan apa yang aktor atau aktris itu mainkan di atas panggung.

Hari pertama, kami sedikit tak beruntung karena terlambat datang dan tertinggal menyaksikan penampilan Sina Riang yang tampil mewah dengan teater Ibu Bumi-nya. Seperti biasa, kekuatan Mama-Mama adalah pada koda (kata-kata sejenis mantra), lalu mereka menambahkan asupan musik ilustrasi yang pas, ditambah dengan olah tubuh yang lumayan. Ah, saya menyesal kami terlambat; sampai-sampai pertunjukan ini pun berakhir.

Hari kedua, sedianya kami ingin menyaksikan anak-anak hebat dari SMPN 1 Adonara Barat dan fashion show dari SMAKK Hendrikus Leven. Eh, lagi-lagi kami datang terlambat. Rasa penasaran itu akhirnya belum menemukan takdirnya. Tapi saya beruntung sempat menyaksikan tarian tradisional dari anak SMP — mana saya lupa — yang terinspirasi dari aktivitas pembuatan arak. Ini juga keren!

Lalu, kami juga menyaksikan sebuah pertunjukan yang menurut saya cukup asyik, dengan pesan ekologis yang kuat, dimainkan masyarakat dari Desa Nurabelen. Mungkin mereka terdampak erupsi Gunung Lewotobi. Saya agak sulit menjelaskan dalam bentuk tulisan seperti ini, tapi saya jarang menemukan pertunjukan yang membuat saya puas setelah menontonnya. Ada pesan yang tertinggal di kepala.

Di hari terakhir, karena deadline FLS2N Kabupaten Flores Timur, saya jadi terlambat. Tapi istri setia menunggu di rumah, ingin menyaksikan penutupan Festival Bale Nagi 2025. Saat saya sampai, mungkin waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, hampir 9, dengan kondisi Lesa sudah tertidur. Ia kekeh ingin menyaksikan penutupan Festival Bale Nagi. Kalau saya sendiri lebih fokus menunggu hasil pengumuman Lomba Melukis yang diikuti anak SMK Suradewa Vocational School Larantuka.

Kami sampai saat pertunjukan hanya menyisakan Paroki San Juan dengan dirigen hebat, Kakak Echa. Setelah Kadis Pariwisata menutup acara, lalu diumumkan hasil lomba, lagi-lagi kami belum berhasil. Tapi kami tidak menyerah. Insyaallah di tahun-tahun berikutnya kami akan ikut lagi.

Ah, ini tontonan rakyat yang sangat sulit saya temukan di Larantuka — gratis dan nyaman. Walau karena saking nyamannya, mungkin teman-teman UMKM hanya bisa senyum tipis, tidak seperti tahun sebelumnya. Tapi selamat juga buat Cafe Hanasta yang menjadi stan dengan angka penjualan terbaik pada Festival Bale Nagi 2025.

Kami duduk lesehan di samping layar penonton. Lesa, anak saya, masih tertidur di pangkuan ibunya, yang kekeh ingin menyaksikan penutupan Festival Bale Nagi 2025. Sampai jumpa di tahun berikutnya!

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5