
Lima sajak dalam rangkaian “Warisan Bapakku Ibuku” ini adalah sebuah persembahan bagi mereka yang telah meninggalkan jejak kasih, doa, dan kebijaksanaan dalam hidup kita. Sajak-sajak ini tidak sekadar menyusun kata-kata, tetapi menjadi perjalanan batin yang menggali makna dari setiap warisan
yang tak terlihat, tetapi begitu terasa.
Dalam “Warisan Sajadah”, kita diajak merenungi bagaimana selembar kain bisa menjadi saksi sujud, menjadi penanda bahwa ada jejak ibadah yang terus mengalir seperti sungai. “Warisan Doa” menghadirkan perenungan bahwa doa bukan hanya lantunan lisan, tetapi jembatan yang menghubungkan kita dengan mereka yang telah tiada, menjadikan setiap ayat sebagai jalan pulang.
Kesabaran dan keikhlasan, dua nilai yang sering diuji dalam kehidupan, hadir dalam “Warisan Kesabaran” dan “Warisan Keikhlasan”. Kesabaran bukan sekadar menunggu, tetapi seni menahan luka tanpa dendam. Keikhlasan bukan sekadar merelakan, tetapi mencintai tanpa menghitung balasan. Kedua sajak ini membawa kita pada pemahaman bahwa kebijaksanaan sejati ada dalam ketenangan yang
menerima segala ketetapan Tuhan.
Puncaknya, dalam “Warisan Cinta yang Berserah”, cinta dipandang bukan sebagai sesuatu yang harus digenggam erat, melainkan dilepaskan dalam keyakinan bahwa segala yang kita kasihi tetap berada dalam genggaman-Nya. Cinta yang tertinggi adalah cinta yang tidak takut kehilangan, karena percaya bahwa perpisahan bukanlah akhir, melainkan sebuah perjalanan menuju pertemuan yang lebih abadi.
Semoga sajak-sajak ini menjadi cermin bagi kita untuk melihat kembali jejak orang-orang yang telah mengajarkan makna sujud, doa, kesabaran, keikhlasan, dan cinta yang berserah. Karena pada akhirnya, warisan terbesar bukanlah yang tertulis dalam lembaran dunia, tetapi yang harum namanya di langit.
Yogyakarta, 29 Maret 2025
Abdul Wachid B.S.



Puisi Abdul Wachid B.S.
WARISAN SAJADAH
Sajadah ini bukan sekadar kain,
ia adalah tanah tempat Bapak sujud,
dan sujudnya telah menjelma sungai
mengalir ke jantung waktu.
Kain ini menyerap doa-doanya,
seperti tanah menyerap hujan,
seperti angin menyimpan bisik para nabi.
Jika aku letih, aku sujud di sini,
karena di serat-seratnya masih tersisa
bisikan tasbih yang tak henti-henti.
Lalu aku pun bertanya:
apakah sujudku telah sampai ke langit,
atau hanya bergema di dadaku sendiri?
Bapak, ajarkan aku,
bagaimana caranya sujud
hingga tubuh ini menjadi angin,
hingga rindu ini menjadi cahaya,
hingga aku lenyap,
dan hanya Nama-Nya
Yang Maha Ada.
2025
oOo

Puisi Abdul Wachid B.S.
WARISAN DOA
Aku membacakan Fatihah untukmu, Ibu,
tapi sesungguhnya akulah
yang tengah kau doakan.
Setiap ayat adalah jalan,
setiap ayat adalah pintu,
dan aku melangkah menuju rumah
yang tak pernah kaulukiskan di peta dunia.
Ketika aku membaca Yasin,
angin di dadaku menjadi tenang,
langit dalam diriku menjadi biru.
Bibirku bergetar:
Shalallah ‘ala Muhammad…
Rabbana atina fid dunya hasanah…
Malam-malam,
saat aku menggigil dalam sunyi,
kudengar gema suaramu
yang tak kasat telinga,
dalam setiap dzikir
yang kau titipkan padaku.
Ibu, ternyata kau tak pernah pergi,
kau masih di sini,
bersembunyi di antara kata-kata
yang kupanjatkan.
Aku tahu, Ibu,
doa-doa ini bukan hanya lantunan,
tetapi jembatan,
tetapi pintu,
tetapi jalan pulang.
2025
oOo

Puisi Abdul Wachid B.S.
WARISAN KESABARAN
Aku adalah anak yang terlambat berbicara,
tetapi kau tak memaksaku menemukan suara.
Sebaliknya, kau menyentuh ubun-ubunku
dengan kata-kata yang tak terdengar,
hanya terasa.
Saat aku bertanya tentang keadilan,
kau tidak menjawab dengan kata-kata,
kau mengantarku ke rumah
orang yang pernah kusakiti,
dan kau ajarkan aku meminta maaf
dengan sujud, bukan dengan kebanggaan.
Aku mengira kesabaran itu
adalah menunggu,
ternyata ia adalah seni menahan luka
tanpa harus menyisakan dendam.
Dan kini, setelah segala perjalanan,
aku mengerti, Bapak,
mengapa engkau lebih memilih diam
daripada berdebat dengan kemarahan,
mengapa engkau lebih memilih senyum
daripada menggenggam api yang membakar.
2025
oOo

Puisi Abdul Wachid B.S.
WARISAN KEIKHLASAN
Apa yang lebih berharga dari harga diri?
Tanyamu, Bapak,
sambil memungut doa yang jatuh dari langit
dan menanamnya di dadaku.
Aku melihat tanganmu memberi
sebelum diminta,
aku melihat matamu memaafkan
bahkan sebelum mereka tahu telah bersalah.
Kau mencintai tanpa meminta balasan,
seperti pohon yang tak pernah menghitung
berapa banyak burung yang hinggap di dahannya.
Aku bertanya, Bapak,
bagaimana mungkin engkau begitu tenang
meski kebaikanmu sering berbalas luka?
Kau tersenyum dan berkata:
“Karena yang menilai bukan manusia,
tetapi Tuhan yang Maha Melihat.”
Kini aku tahu,
warisan terbesar bukan emas,
bukan tanah luas yang dibeli dunia,
tetapi nama yang harum di langit,
tertulis dalam lembaran yang tak pernah terbakar.
2025
oOo

Puisi Abdul Wachid B.S.
WARISAN CINTA YANG BERSERAH
Ibrahim mencintai Ismail dengan melepaskannya,
bukan dengan menggenggamnya.
Aku pun kini paham,
cinta tertinggi adalah
yang tidak takut kehilangan.
Bapak, Ibu,
panjenengan mencintaiku
seperti angin mencintai samudera,
seperti bintang mencintai malam,
tanpa perlu mengikat,
tanpa perlu menuntut.
Aku, anakmu,
akan meneruskan sujud ini,
akan menyebut namamu dalam doa-doaku.
Sebab warisan ini lebih kekal dari tanah dan batu:
warisan cinta yang menemukan Tuhan.
Yogyakarta, 28 Maret 2025
(Malam 29 Ramadan 1446 H)
oOo


TENTANG PENULIS: Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, dan menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Abdul Wachid B.S. lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (15/1/2019). Buku terbarunya : Kumpulan Sajak Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), Kumpulan Sajak Jalan Malam (2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (2022), Kumpulan Sajak Wasilah Sejoli (2022). Melalui buku Sastra Pencerahan, Abdul Wachid B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang tahunnya yang ke-55).

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 hingga 10 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com . Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya..
