Oleh: Naufal Nabilludin

Beberapa hari ini, media ramai memberitakan pengunduran diri Hasan Nasbi dari jabatan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan. Dalam pernyataannya, Hasan mengaku tak lagi mampu mengatasi persoalan yang ada—persoalan yang menurutnya sudah di luar kemampuannya.

Ia memang figur kontroversial, terutama setelah komentarnya soal teror kepala babi kepada seorang jurnalis Tempo. Komentar ringannya, “Sudah, dimasak aja,” memantik kemarahan publik. Bahkan Presiden Prabowo, dalam wawancara bersama tujuh jurnalis nasional beberapa waktu lalu, secara terbuka mengakui buruknya komunikasi publik pemerintah.

Masalah komunikasi ini, sayangnya, bukan hanya milik pusat. Di daerah pun kita menyaksikan hal yang sama: komunikasi yang kaku, hambar, dan jauh dari substansi. Sambutan-sambutan para kepala dinas sering kali tak lebih dari bacaan naskah yang datar dan textbook. Tidak ada nyawa, tidak ada pemahaman, tidak ada pesan yang sungguh ingin disampaikan.

Saya pernah menyaksikan sendiri betapa buruknya hal ini terjadi di lapangan. Beberapa bulan lalu, dalam acara Duta Baca Indonesia di Rumah Dunia, Kota Serang, seorang pejabat dari dinas yang sangat dekat dengan dunia literasi hadir memberikan sambutan. Alih-alih menghidupkan suasana dan menegaskan komitmen terhadap literasi, sambutan itu malah mencederai semangat acara.

Ia berdiri, membaca teks buatan timnya dengan terbata-bata. Lalu menyebut nama acara secara keliru—padahal di belakangnya terpampang banner besar dengan nama yang jelas, tertulis dalam huruf kapital. Momen itu terasa ironis, dan jujur saja, memalukan. Lebih menyedihkan lagi, ini bukan pertama kalinya. Saya sudah beberapa kali menyaksikan pejabat yang sama melakukan hal serupa: membaca teks tanpa pemahaman, tanpa inisiatif untuk mengenali konteks acara.

Saya tidak berniat merendahkan siapa pun. Tapi ketika seorang pejabat publik tidak mampu menyampaikan sambutan dengan baik—sekadar menyebut nama acara pun salah—maka wajar jika kita mempertanyakan: apakah ia benar-benar memahami bidang yang ia pimpin?

Ini bukan sekadar soal public speaking. Ini soal kepemimpinan. Seorang pejabat publik bukan hanya penanda jabatan, tapi juga representasi gagasan, arah, dan pemahaman yang harus bisa dijelaskan kepada masyarakat. Bila sambutan saja tidak dikuasai, bagaimana bisa kita percaya pada kualitas kebijakannya?

Membaca teks itu mudah. Anak SMP pun bisa jika diberi naskah. Tapi berbicara dengan pemahaman, menyampaikan visi dengan jelas, dan hadir secara utuh sebagai pemimpin—itu jauh lebih dari sekadar membaca.

Kita berhak menuntut kualitas komunikasi yang lebih baik dari para pejabat. Bukan agar mereka jadi orator ulung, tapi karena kata-kata mereka mencerminkan: apakah mereka benar-benar hadir, atau sekadar berdiri tanpa jiwa.

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5