Oleh: Zaeni Boli

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan dari Bekasi yang berjualan kopi kaki lima di depan Kampus UNISMA 45 Bekasi berkali-kali menghubungi saya lewat telepon. Entah kenapa, saya tak sempat mengangkatnya—mungkin karena sedang sibuk dengan hal lain.

Lalu, di waktu yang sempat, saya coba menghubungi kembali sahabat saya itu: Mang Kos, begitu saya biasa memanggilnya.

“Aya naon, Mang?” kata saya.

Lalu Mang Kos memberi tahu, “Pao kangen,” katanya.

Pao, atau Iyan Pao, adalah sahabat saya semasa di Sastra Kalimalang dulu. Beliau adalah seorang seniman Down Syndrome yang saya kenal saat kami masih sama-sama di komunitas Sastra Kalimalang, yang dipimpin Bang Ane Matahari.

Ya, Pao adalah seniman Down Syndrome yang sering dibawa Bang Ane ke berbagai acara pementasan seni. Bahkan setelah Bang Ane dipanggil Allah, Pao masih aktif berkarya. Pada tahun 2016, kami pernah diajak dalam rombongan Matahari Hujan yang dipimpin Bang Dedi S. Siregar untuk pentas keliling di dua kota: Tegal dan Solo.

Di Solo, kami tampil dalam momen yang spesial. Kami membawakan karya berjudul Topeng Kawan, sebuah karya Bang Dedi S. Siregar, kakak kandung Bang Ane Matahari, dalam acara HATEDU 2016.

Sebenarnya, ada banyak momen tampil saya bersama Pao, dan itu membekas dalam sejarah saya berkesenian. Guru kami, Ane Matahari, mengajarkan tentang nilai-nilai bahwa berkesenian tak memandang latar belakang. Kita bisa bergaul dengan siapa saja. Semoga itu menjadi hal yang baik—sebuah upaya untuk mengejawantahkan makna kemanusiaan yang tak memandang latar belakang dalam pergaulan sehari-hari.

Bahkan anak-anak Down Syndrome pun mampu berkarya.

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5