
Oleh: Naufal Nabilludin
Ketika magang di detikJabar, saya beruntung diberikan tugas untuk menghadiri acara TedXITB. Acara yang selama ini hanya bisa saya tonton di YouTube, akhirnya saya nikmati secara langsung di bangku penonton. Rasanya menyenangkan sekali bisa menyaksikan langsung para pembicara hebat yang tampil dengan ide-ide segar dan penuh semangat.
Dari sekian banyak pembicara yang membuat saya terkagum-kagum, ada satu yang paling membekas: Jessica Tjoeng, mahasiswa Desain Produk ITB. Ia membawakan materi berjudul The Power of Curiosity.
Menurut Jessica, rasa keingintahuan yang besar memicunya untuk terus mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikirannya. Dalam presentasinya, Jessica membagikan tiga pertanyaan kunci yang selalu ia gunakan untuk memicu proses berpikir: What if (bagaimana jika), Why not (kenapa tidak), dan How (bagaimana).
“Dari tiga hal itu, kita bisa menjawab bahkan menemukan solusi dari permasalahan yang ada. ‘What if’ membuat kita terhubung dengan dunia, ‘Why not’ membawa perenungan ke dalam diri, dan ‘How’ membantu kita mencari cara bagaimana menemukan solusi,” katanya.
“Tetaplah penasaran, maka kamu akan melangkah jauh,” tutupnya.
Jujur, apa yang ia sampaikan keren dan insightful. Saat duduk di bangku SMA, saya juga pernah berpikir hal yang sama. Bahkan menurut saya saat itu, rasa penasaran dan keingintahuan jauh lebih penting daripada sekadar mendapatkan ranking di kelas.
Dan benar apa yang Jessica sampaikan: ilmu pengetahuan lahir dari rasa penasaran. Tanpa rasa ingin tahu, tidak ada kemajuan, tidak ada penemuan, tidak ada langkah lebih jauh dari titik sekarang.
Anak Adalah Filsuf Kecil
Sebenarnya, sejak kecil kita sudah memiliki rasa penasaran itu secara alamiah. Anak-anak adalah filsuf kecil. Mereka bertanya tentang apa saja, dari yang tampak remeh hingga yang eksistensial:
“Kalau orang meninggal, katanya ke surga. Surga itu di mana?”
“Kenapa aku harus sholat?”
“Kenapa langit biru?”
“Kenapa ada orang jahat?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah bentuk awal dari filsafat dan pencarian makna. Anak-anak tidak takut bertanya, mereka tidak takut terlihat ‘tidak tahu’. Tapi sayangnya, tidak semua anak bisa mempertahankan rasa penasarannya hingga dewasa.
Sering kali, justru lingkungan terdekat yang memadamkannya. Parenting yang kaku, sistem pendidikan yang hanya mengejar nilai, atau orang tua yang bingung menjawab akhirnya memilih diam—atau bahkan memarahi.
“Hus, nggak boleh nanya begitu.”
“Kamu tuh anak kecil, nggak usah banyak nanya.”
Ucapan-ucapan seperti itu secara tidak sadar mengajarkan anak bahwa bertanya adalah salah. Bahwa ingin tahu adalah gangguan. Maka si filsuf kecil pun mulai bungkam, mulai enggan bertanya, dan lama-lama rasa ingin tahunya memudar. Ia tumbuh menjadi orang dewasa yang hanya menerima, bukan mempertanyakan. Padahal, berpikir kritis dan belajar lahir dari pertanyaan, bukan dari hafalan.
Itulah kenapa, saya percaya: rasa penasaran harus dijaga. Ia adalah bahan bakar bagi pikiran. Kita, orang dewasa, punya tanggung jawab untuk menjaga agar anak-anak tetap penasaran. Biarkan mereka bertanya, meski kita tak selalu punya jawabannya. Karena kadang, jawaban bukan hal terpenting—yang penting adalah semangat untuk terus mencari.

