
Oleh: Justicia
Kota Garut, atau Kota Domba karena terkenal dengan ternak domba khasnya—Domba Garut—memiliki julukan lain yang menarik, yakni Swiss van Java. Julukan tersebut diberikan karena lokasinya yang berada di antara gunung.
Di setiap sudut kota dan ujung daerahnya, kita selalu bertemu dan berhadapan dengan rangkaian gunung dan pegunungan. Cuacanya dingin, apalagi bagi mereka yang tinggal di dataran tinggi Garut.
Di daerah Pataruman saja, dinginnya tidak tertahankan setiap pagi dan malam. Bahkan saat siang hari yang panas, hawa dinginnya masih terasa. Airnya? Sedingin ratusan es batu yang ditumpahkan ke bak setiap saatnya. Selayaknya keadaan di Swiss, bukan? Hehe.
Setiap kali mengunjungi suatu tempat baru, tentunya yang langsung dicari adalah wisata kulinernya. Pasar Ceplak, yang berlokasi dekat dengan alun-alun Garut, menjadi pusat wisata kuliner malam selain Kerkhof Garut.
Namun, untuk Garut yang memiliki makanan khas seperti dodol Garut, burayot, sale pisang, dan cireng—yang semuanya cenderung manis dan ringan—jenis makanan di Pasar Ceplak ini justru bukanlah makanan khas daerah. Makanan yang dijual di pasar ini adalah makanan umum yang biasa ditemui di wilayah Indonesia lainnya seperti nasi goreng, nasi bebek dan ayam, roti panggang asin dan manis, martabak, kue subuh, cilung, gorengan lainnya, pempek, dan sebagainya.
Meskipun begitu, Pasar Ceplak tetap ramai dikunjungi warga lokal maupun pendatang sebagai pilihan beragam wisata kuliner malam.
Pasar Ceplak mulai buka setelah waktu Ashar (sebagian mulai buka sejak Magrib) hingga sekitar pukul 10 malam. Bagi Garut, segala bentuk usaha yang masih buka di atas pukul 9 malam itu adalah anugerah, wkwk. Karena batas kehidupan aktif di Garut adalah pukul 9 malam—I’m not kidding.
Pukul 8 malam saja jalanan sudah terasa sepi, para pedagang jalanan mulai menutup dagangannya, dan bahkan perkumpulan remaja pun nyaris tak terlihat. Ada, tapi hanya di tempat-tempat tertentu yang biasa dijadikan tongkrongan malam, jumlahnya sedikit, dan lokasinya hanya “yang tahu saja.”
Bahkan tidak semua kafe masih ramai setelah pukul 21.00. Begitu pula dengan pusat perbelanjaan; ketika waktu mendekati pukul 9, para pengunjung mulai bersiap untuk pulang. Seakan-akan semua orang di sini punya jadwal pulang main yang sama. Setelahnya, malam di Garut terasa sangat sepi.
Meskipun begitu, pusat perbelanjaan di Garut lebih banyak dan lengkap daripada di Serang, lho—padahal kehidupan malam di Serang lebih ramai. Garut memiliki dua mal besar dan dua bioskop. Tidak seperti di Kota Serang yang hanya memiliki satu mal (itu pun luasnya seperti “pintu masuk langsung pintu keluar”) dan satu bioskop tanpa saingan, dengan harga tiket yang tidak masuk akal.
Dengan segala fasilitas hiburan di Garut ini—bahkan untuk harga makanan dan minuman di dalam mal masih amat terjangkau, terutama di area food court—orang-orang Garut tetap tahu diri.
As the name suggests, Swiss van Java, sepertinya bukan hanya lingkungan alamnya saja yang mirip: sebuah kota yang dikelilingi pegunungan, udara yang dingin, dan orang-orang Garut yang cenderung tenang, kalem, serta tidak berlebihan dalam segala hal.
Semuanya terasa sesuai aturan, namun tetap menyenangkan. Sebagaimana orang-orang Swiss yang katanya juga kalem dan mayoritas sudah memasuki masa pensiun, kehidupan di sana tidak terburu-buru dan bebas dari huru-hara seperti di kota metropolitan—begitu pula Garut.
Bahkan remaja yang biasa nongkrong malam juga lebih tahu diri, menurutku. Contohnya bisa dilihat dari keadaan jalanan malam hari yang cenderung sepi, dan tidak ada remaja nakal yang melakukan balapan liar atau mengendarai motor sembarangan yang membahayakan.
Garut, seakan semua orang di sini punya curfew yang sama dan lebih memilih menghabiskan waktu malam di rumah untuk beristirahat. Kadang malam di sini terasa sangat sunyi. Namun justru suasana damai dan tenang itulah yang memberikan kesan nyaman—tepat sebagai tujuan untuk beristirahat dari kepenatan kehidupan.
Liburan di Garut? Mau hiking pun bisa, lho! Naik Gunung Papandayan aja, itu lebih dekat dari Garut daripada dari Bandung! Banyak jajanan enak juga, harga makanan dan transportasi masih amat terjangkau, orang Sunda ramah-ramah—udah cocok!

