Oleh: Justicia

Pusat perbelanjaan masih menjadi pilihan utama orang-orang untuk menghabiskan waktu senggang atau liburan. Namun, apa yang membuat mall tetap menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk datang dan berbelanja, padahal kini sudah semakin mudah dan beragamnya pilihan lewat online shop?

Mall—atau pusat perbelanjaan modern—menawarkan segalanya dalam satu tempat: ruangan nyaman ber-AC dan bersih, serta pilihan toko untuk setiap kebutuhan, mulai dari tempat makan, bioskop, outlet pakaian, hingga toko-toko yang menjual kebutuhan rumah tangga maupun kantor.

Di Serang, ibu kota Provinsi Banten, hanya ada satu mall kebanggaan masyarakat: Mall of Serang, atau MOS—karena memang satu-satunya.

Sebagai seseorang yang tinggal di kota yang berstatus ibu kota, tapi terasa seperti tinggal di daerah, saya merasa Serang ini, sebagai ibu kota, justru tertinggal dibandingkan kota-kota lain di Banten seperti Cilegon atau Tangerang. Mari kita bicara soal pusat hiburan dan perbelanjaan satu-satunya ini: MOS.

Mall dua lantai, dengan luas yang tidak seberapa, di mana ketika kita masuk pun langsung berhadapan dengan pintu keluar. Tidak hanya itu, kelengkapan fasilitas yang disediakan pun terbatas. Sebenarnya, sekarang sudah lebih baik—mushala sudah tersedia di tiap lantai. Tapi karena keterbatasan ruang, fasilitas lainnya tetap terasa kurang. Mulai dari variasi barang yang dijual tiap toko, sempitnya tempat duduk restoran, tidak adanya tempat istirahat bagi pengunjung (seperti bangku di titik-titik tertentu dalam mall), hingga pilihan hiburan yang hanya ada timezone dan bioskop—itu pun hanya satu.

Ngomongin soal bioskop—Serang ini cuma punya satu bioskop, yang resmi dibuka tahun 2021 lalu. My goodness, ini masalah banget. Cilegon aja punya dua bioskop: satu di dalam mall besar bertingkat, satu lagi berdiri sendiri. Sementara di Serang, satu bioskop saja mendominasi pasar. Monopoli dan permainan kapitalis sangat terlihat. Bayangin, nonton di bioskop Serang itu tarifnya setara dengan tiket CGV di Jakarta! Apalagi kalau hari libur atau akhir pekan—bisa sampai 60 ribu untuk satu tiket. Nonsense! Karena fasilitasnya jelas tidak sepadan.

Di CGV, ada banyak pilihan: sweetbox, layar 2D sampai 4D, kursi empuk, ambience yang proper. Begitu pula dengan XXI. Tapi Cinepolis di Serang? Fasilitasnya jauh di bawah. Pilihan film 4D? Nggak ada. SMH.

Menu makanan dan minuman pun terbatas, hanya bisa dibeli langsung di tempat—tidak bisa online saat pesan tiket. Waktu penayangan juga nggak seimbang antara film luar negeri, film lokal, dan film horor lokal. Yang paling lama tayang? Biasanya film horor lokal. Pilihan nontonnya itu-itu saja.

Dan satu lagi: tidak ada toko buku di mall ini. TIDAK ADA TOKO BUKU DI IBU KOTA INI?? Damn it! Dulu ada satu, tapi sudah tutup. Sepertinya minat baca dan tingkat literasi di Serang memang rendah. Intermedia? Itu lebih cocok disebut toko peralatan kantor dan sekolah. Padahal, sudah lima tahun program Duta Baca Indonesia berjalan dari Provinsi Banten—tapi belum ada toko buku layak di Kota Serang. Gramedia? Bahkan nggak masuk ke kota ini. Cilegon dan Tangerang? Mereka punya Gramedia—Cilegon bahkan dengan toko yang berdiri sendiri.

Bagi sebagian orang, termasuk penulis ini, mall ideal tentu memiliki toko buku—Gramedia pastinya—sebagai bentuk hiburan para kutu buku dan wibu. Melihat antusiasme warga Serang dalam mencari hiburan di kotanya, semoga Mall of Serang bisa berkembang lebih baik sebagai pusat perbelanjaan dan hiburan masyarakat. Akan lebih baik jika pusat hiburan dipusatkan dan difasilitasi secara layak, agar anak-anak, keluarga, remaja, hingga lansia bisa memanfaatkan fasilitas publik ini secara maksimal.

Bio Justicia
Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5