
Oleh: Naufal Nabilludin
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti sebuah kegiatan literasi yang diselenggarakan oleh salah satu instansi pemerintah di kota ini. Temanya bagus, tapi beberapa hal justru membuat saya pulang dengan perasaan jengkel.
Sertifikat yang saya terima tidak mencantumkan nama. Hanya selembar kertas kosong dengan stempel dan tanda tangan kepala dinas. Seolah-olah kehadiran peserta dianggap formalitas belaka. Padahal, peserta sudah mengisi Google Form sebelum acara, juga mengisi daftar hadir saat tiba di lokasi. Jadi tidak bisa beralasan bahwa mereka tidak tahu siapa saja yang datang.

Hal-hal kecil semacam ini memang terlihat remeh. Tapi ketika berulang, ia menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: ketidakseriusan dalam bekerja.
Desain flayer acaranya? Jangan ditanya. Penuh warna, penuh teks, tapi miskin arah. Font saling bertabrakan seperti jalanan tanpa rambu. Tidak ada struktur, tidak ada ruang bernapas, tidak ada upaya untuk memudahkan pembaca.
Dan yang paling membuat saya kecewa adalah sambutan dari kepala dinas. Ya ampun, bicaranya terbata-bata, ekspresinya kosong, dan isinya textbook sekali. Terlihat jelas bahwa ia tidak memahami substansi acara, bahkan mungkin tidak tahu apa yang sedang dibicarakan.

Saya bukan sedang mencari-cari kesalahan kecil. Ini bukan sekadar soal sertifikat kosong, flayer yang jelek, atau sambutan yang tidak ada isinya. Ini soal kompetensi.
Bayangkan sebuah instansi publik yang seharusnya membawa dampak besar bagi masyarakat, dipimpin oleh orang yang bahkan tidak bisa menyampaikan sambutan dengan jelas. Lalu bagaimana kita bisa percaya pada keputusan yang dibuatnya? Bagaimana masyarakat bisa berharap mendapatkan pelayanan yang bermutu, kalau fondasi internalnya sendiri rapuh?
Kepala dinas dan pegawai yang tidak kompeten secara langsung merugikan masyarakat. Mereka digaji dari uang rakyat, tapi tidak memberi kontribusi sepadan. Sering kali, mereka justru memperlambat, mengaburkan, bahkan merusak pelayanan yang seharusnya bisa berjalan baik.
Dan ini bukan masalah di kota saya saja. Menurut data Kementerian PAN-RB, sebanyak 1,6 juta ASN—atau sekitar 38% dari total PNS di Indonesia—hanya menjalankan pekerjaan yang “sederhana” atau minim kontribusi. (CNBC Indonesia, 2022)

Bayangkan: hampir separuh pegawai negeri yang dibiayai oleh pajak rakyat tidak benar-benar memberikan manfaat yang signifikan. Sementara masyarakat yang membayar pajak setiap hari, harus menerima pelayanan yang buruk sebagai gantinya.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak posisi strategis di birokrasi diisi bukan melalui seleksi yang objektif dan transparan, tapi karena kedekatan politik, hubungan kekeluargaan, atau sekadar loyalitas pribadi. Meritokrasi? Masih jadi mimpi di siang bolong. Dan ketika orang yang salah mengisi posisi penting, maka seluruh sistem ikut terdampak. Inovasi mati. Etos kerja menurun. Pelayanan macet.
Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari orang-orang terbaik. Bukan dari mereka yang hanya hadir secara administratif, tapi kosong secara substansi.
Saya tidak menulis ini untuk menyerang siapa pun secara pribadi. Tapi saya percaya, jika kita ingin memperbaiki negeri ini, kita harus mulai dari hal yang paling dasar: memastikan bahwa setiap jabatan publik diisi oleh orang yang benar-benar kompeten, sesuai prinsip meritokrasi.

Saya membayangkan, seandainya prinsip ini diterapkan dengan sungguh-sungguh—jika jabatan publik benar-benar dipegang oleh orang-orang yang paham apa yang mereka kerjakan—maka sambutan pejabat tak akan lagi terdengar seperti pembacaan teks kosong. Tapi menjadi dialog hangat antara negara dan warganya.
Dan mungkin, kita tidak perlu lagi merasa sakit hati karena flayer jelek, sertifikat kosong, atau sambutan yang menyedihkan.
Karena pelayanan publik bukan sekadar rutinitas birokrasi. Ia adalah wujud komitmen dan tanggung jawab kepada rakyat. Dan komitmen itu hanya bisa lahir dari orang-orang yang benar-benar kompeten.

