
Membaca calon buku “Cilegon di Persimpangan” karya Moch. Nasir, tersa sekali budaya permisif merajalela. Semuanya diperbolehkan, asalkan…


Gara-gara buku Moch. Nasir ini, ingatan saya terlempar ke tahun 80-an. Siapa yang tidak mengenal diksi “simpang” jika dikaitkan dengan Cilegon?
“Nanti ketemu di Simpang, ya!” begitulah jika kita membuat janji di Cilegon.
Kenapa?


Kalau saya janjian mau ke Anyer dengan teman-teman dari Keramat Waktu, Jombang, atau Bojonegoro, ya di Simpang itulah. Lurus ke Anyer, ke kanan bablas ke Merak dan menyeberang ke Bakeuhuni, Lampung.
Kini di Simpang selain masih ada masjid sudah berdiri dengan gagah pipa-pipa yang jadi tugu monumen – ikon Cilegon dengan Krakatau Steel-nya.
Tahun 1980-an itu – saya masih ingat – teman-teman saya yang sekolah di SMAN Serang (sekarang SMAN 1 Serang) harus nongkrong menunggu bus jemputan di depan Rumah dinas Kapolres Serang pukul 13.00 WIB. Lewat jam itu, harus menunggu bus umum, kecuali punya motor.

Jika memiliki teman dari Cilegon ada kebanggaan tersendiri. Apalagi jika rumahnya di Perumahan KS. Siapa tidak bangga berteman dengan orang yang ayahnya bekerja di BUMN ternama? PT Krakatau Steel didirikan pada 1970 sebagai penerus Proyek Baja Trikora. Proyek ini diinisiasi Presiden RI, Soekarno pada 1960. Awalnya tahun 1962, perusahaan ini bernama Cilegon Steel Mill dan sempat terhenti karena gejolak politik dan ekonomi. Pada 1970, pembangunan pabrik dilanjutkan dan dioperasikan secara resmi sebagai perusahaan milik pemerintah Republik Indonesia yang bergerak di bidang produksi baja dengan nama PT Krakatau Steel.
Siapa tidak bangga?


Tapi seperti juga Irian Barat, saya yang masih SMA mulai menulis, berpikir keras: kenapa Cilegon dan Papua miskin? Saya sering naik motor menjelajahi Kota Administratip Cilegon. Saya mulai melihat “jurang pemisah”. Kenapa yang makmur hanya Perumahan Krakatau Steel saja?
Dari tahun ke tahun, saya sering mendengar bau korupsi merebak dari kota di ujung barat Pulau Jawa ini. Hingga setelah memiliki Walikota sejak Tb. Aat Syafa, Tb. Iman Aryadi, Heldy Agustian, dan sekarang…
Paling sedih Ketika menyusuri jalan lingkar Selatan. Cilegon dikeruk tanahnya, dikeruk. Membuat saya menangis. Orang Cilegon sedang menggali lubang untuk kuburannya sendiri.
oOOo
Di buku ini Moch. Nasir mengajak saya untuk membuka lagi kulit kota Cilegon yang sekarang terus bersolek. Masjid di Jombang dengan 1000 menara. Perumahan-perumahan yang memakan sawah-sawah, dan banjir yang bertamu setahun sekali.

Ketika Banten jadi provinsi, saya termasuk orang yang tidak setuju. Kenapa? Tentu soal kompetensi sumber daya manusianya. Saya tahu sekali bagaimana teman-teman saya yang kuliah rata-rata di perguruan tinggi swasta mengisi waktunya: main gapleh, melet perempuan, dan berkelahi sebagai orang Banten. Pada saat itu cita-cita mereka akan jadi pemimpin di Banten. Saya tidak melihat mereka serius menyiap dirinya untuk jadi pemimpin karena aroma KKN dan primordialisme masih dijunjung tinggi. Kecuali ada beberapa nama, yang kemudian berkiprah dan sukses di Jakarta, seperti halnya saya.
Saya pernah berbincang-bincang dengan HMA Sampoerna – Bupati Serang era 90-an. Kami membicarakan pantai Anyer, Banten Lama, Krakatau Steel, dan menu hangat tentang hegemoni jawara (kau tahu siapa yang kami maksud). Apa yang kami diskusikan waktu itu, masih terjadi hingga sekarang, yaitu: korupsi.

Jadi di buku Moch. Nasir ini semakin meyakinkan saya, bahwa SDM di Cilegon plus Banten secara umum (minus Tangerang) memang rendah. Bahkan dalam soal akhlak. Ketika saya membaca berita heboh pelarangan pendirian gereja oleh pemimpinnya, itu menunjukkan bahwa agama masih dijadikan merek dagang. Mestinya pemimpin berdiri untuk semua umat.
Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai warga Kota Cilegon? Robinsar – Fajar apakah akan memenuhi harapan para pemilih dan bukan pemilihnya?

Seperti yang diresahkan oleh Moch. Nasir di buku ini, bahwa KKN, infrastruktur, SDM, dan lingkungan bisa diperbaiki menuju motto Kota Cilegon: Akur Sedulur Jujur Adil Makmur.
Jadi mulai sekarang, setiap keputusan atau perilaku pemimpin kita yang salah arah, jangan selalu kita izinkan, jangan serta merta kita bolehkan. Budaya pernisif harus kita analisis terlebih dahulu: benar belum tentu tepat dan tepat belum tentu benar.
Semangat, lur!
*) Serang 9 Mei 2025
*) Gol A Gong adalah Duta Baca Indonesia, 2021-2025


