
Di kotaku kini begitu sepi. Kendaraan jarang lewat, orang-orang lebih memilih tinggal di rumahnya. Baru hari lalu kudengar berita tentang gerakan tetap di rumah. Dan rupanya banyak orang mulai mengurangi aktivitas di luar. Bukan karena mereka tidak mau, ya, mau bagaimana lagi. Keadaan ekonomi memang masih seret, tapi pembatasan keluar rumah benar-benar makin membuat ruwet. Apalagi keluargaku memang berdagang di pasar. Mendengar berita semacam itu langsung lesu terduduk di kursi tua. Seakan bayangan hari esok menjalar dan mengental di mata kelam.
Memang aku tinggal di kampung dengan keluarga kecil. Membuat gorengan dan memanen buah, seperti pisang dan ketela. Membawanya ke pasar untuk dijual. Untung tidak seberapa memang. Tapi bisa untuk hidup.
Ketika kabar pasar juga ditutup alias dilarang berjualan sementara, kami semua lesu. Untung di rumah masih ada stok beras tidak banyak, cukup untuk seminggu, di halaman kami menanam cabe dan bayam katu bisa untuk buat kuah atau sup juga sambal. Kami memang bingung sebab bapak baru saja berhenti kerja di tokonya Mak Roni. Karena toko juga dilarang buka. Aku sendiri bernasib sama seperti bapak. Akhirnya kami sekeluarga mengandalkan apa yang ada. Sedang bantuan dari pemerintah sepertinya tidak datang untuk waktu dekat.

Tengah malam aku menonton berita dengan bapak. Karena keluarga kami selalu taat pada aturan, sudah siap kami memang besok tidak ke pasar. Tapi di berita TV diumumkan bahwa boleh berjualan ke pasar. Kabar mendadak itu membuat keadaan makin tidak jelas. Barang yang tidak kami siapkan tentu terlalu mepet untuk didapat. Sedang ibu yang biasa buka warung kecil tidak lagi memasak atau membeli bahan-bahan masak.
“Ini benar-benar edan. Kemarin bilang suruh di rumah. Kami sudah nurut kabarnya berganti lagi boleh ke pasar. Lah, ini gimana kok begini. Kalau mau usaha tapi aturannya tidak jelas bagaimana mau jalan.” Bapakku berkata sambil mengeluh-eluh. Sedang ibuku diam saja sambil membikin teh untuk kami semua.
Di luar hujan belum juga reda. Sore hari memang waktu yang sering datang hujan. Daun-daun di halaman berguguran lebih banyak dari saat-saat tidak hujan. Ngengat-ngengat terbang ke lampu-lampu ruang tamu, dan kucing menelungkup kedinginan.
“Bu, besok kita tidak usah berangkat saja. Semua belum siap, mau bagaimana.”
“Iya, Pak. Di rumah saja. Istirahat sehari. Itu kan genting bocor, kita diberi waktu untuk memperbaikinya. Sabar saja, Pak. Semua harus disyukuri.”
“Iya, Bu. Semua ada hikmahnya. Tapi kalau terus-terusan berita ini membuat kita mang-mang ya kan jadi repot, Bu.”
“Berdoa ajalah, Pak. Tidak usah banyak protes. Wong keadaannya semua ya lagi begini. Bukan cuma kita saja yang susah, Pak.”
Bapak diam. Sedang teh telah mendarat di depan kami. TV masih memutar berita. Kali ini ada teroris ditangkap karena masalah senjata. Kata radikal pun seakan menjadi santapan baru tiap kali kami membuka saluran berita.
Di masjid berkumandang adzan. Laron-laron berhambur ke dalam rumah seolah hendak bersujud pada tiap lampu. Ibu mematikan lampu dan mengganti dengan lilin. Itung-itung sedang irit listrik.
Kami beranjak ke padasan, dan mengambil wudhu. Kemudian pergi ke ruang tengah dan sholat berjamaah.

Di akhir sholat, bapak berdoa begitu khusyu. Suaranya lembut menyusur keremangan ruang. Seakan desir angin dari jauh menyeberang. Di halaman telah bergerumbul laron-laron dan berjatuhan bulu-bulu dan tubuh mereka, ditangkap semut-semut yang sudah keluar dari lubang di sela-sela bangunan rumah.
Hujan masih menetes. Seperti tangis yang terdengar dari rumah tetangga. Kebetulan tetangga kami baru saja punya bayi. Karena situasi yang tidak kondusif seperti ini, akhirnya mereka menutup diri. Tidak mengizinkan tamu berdatangan. Unik sekali memang zaman sekarang. Nama-nama bayi menjadi sangat kontekstual. Ada anak yang diberi nama Coronus Sebastian, Citra Corona, Mahkota Raja Virustyan, dan macam-macam. Aku sendiri sering senyum-senyum ketika menceritakan ini pada bapak atau ibu. Mereka malah balik berkisah tentang nama-nama jaman nenek-nenek mereka, seperti Runtah, Ranting, Cikrak, Lading, Suket, dll.
Kami selalu bercerita setelah usai makan petang. Duduk-duduk di ruang tengah, sambil berdiskusi. Bagiku bapak dan ibu adalah teman mengobrol yang cukup asyik, maka dari itulah aku jarang keluar nongkrong dengan teman-teman. Apalagi aku tahu teman-teman di sekitar sini sikapnya sudah tambah ekstrim. Ditambah warung-warung yang siangnya jual sembako itu, kalau malam mulai stok bir, tuak, dan ciu. Akhirnya banyak pemuda dari luar desa datang dan duduk-duduk di pertigaan atau perempatan, sekedar untuk minum-minum. Entah kenapa pada zamanku kecil dulu tidak ramai orang mabuk-mabuk di jalan-jalan. Atau mungkin itu pengaruh dari luar? Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi yang paling mengherankan adalah ketika aku pergi mancing di sungai sore hari, kutemukan banyak sekali bungkus obat batuk komik berceceran. Dan sesuai dengan berita yang tersiar di TV kalau efek obat batuk itu cukup keras, menimbulkan halusinasi.
Kadang aku pergi ke kota. Sekedar melihat jalan, duduk di pinggir pasar, di warung kecil ibu. Mengamati kehidupan yang lalu lalang. Tapi besok kami tidak ke mana-mana. Di rumah saja. Aku membantu bapak membetulkan genting, dan beres-beres rumah saja.
Ke kota juga pasti sepi. Apalagi larangan dan aturan baru tidak selaras. Kemarin saja pedagang-pedagang dari luar daerah sudah tidak datang ke pasar. Biasanya ramai sekali sampai penuh. Ya, memang masa pandemi ini semuanya menjadi lesu. Aku dengar-dengar juga makin marak tindakan kriminal, pencurian melalui internet. Kuota yang tiba-tiba tersedot begitu besar. Sepertinya di saat-saat yang genting, orang banyak memutar otak dan mulai melakukan gerakan tipu-tipuan. Harusnya mereka saling membantu tapi malah merugikan. Dan di kampungku ini tidak sedikit yang cuek-cuek saja. Apalagi terakhir kemarin, ketika tetangga desa sebelah terkena covid. Diasingkan bahkan sampai dibully habis-habisan. Bayangkan. Sudah tidak punya pekerjaan, kena musibah, eh, masih didiskriminasi. Manusia ini sedang krisis. Hari biasa ya sudah krisis, ketambahan situasi begini, nampah kritis penyakit hatinya.
Mak Roni yang memberhentikan bapak kemarin, setelah mendengar kabar lockdown itu, barusan menghubungi bapak untuk berangkat kerja. Bapak sudah menjelaskan kalau hari besok libur untuk membetulkan genting dan beres-beres rumah. Toko di sebelah Mak Roni tempatku kerja juga menghubungiku untuk berangkat besok. Bapak ingin aku berangkat karena lumayan upah harian di sana bisa digunakan untuk nambah beli beras. Aku setuju saja. Lagi pula kalau tidak berangkat pun aku membantu bapak, kalau berangkat malah lebih banyak membantu keuangan keluarga yang lagi kecekik.
PAGI HARI, aku sudah nyepeda ke toko Pak Kajen. Dia sudah nunggu di depan toko dan segera menyerahkan kunci untuk membuka gudang, membersihkan dan mengambil barang-barang yang hari itu akan siap diangkut.
Kulihat pasar di seberang jalan agak sepi. Kendaraan juga tidak sepadat biasanya. Lampu-lampu yang masih menyala, sedikit pudar sinarnya. Teman kerjaku datang menggunakan motor, lekas ke seberang pesan kopi.
“Eh, Bnu, mau sekalian kopi?”
“Siap.”
“Sama gorengan pisang nggak?”
“Mantap itu.”
Kami biasa menggunakan kata ‘siap’. Mungkin karena itu kata yang berbobot dan memiliki ruh semangat. Pekerjaan kami memang tidak mudah. Angkat berat. Kardus-kardus itu berisi dagangan milik Pak Kajen yang di stok ke toko-toko kelontong di kampung. Kadang kami juga membungkus-bungkus gula, terigu, dan lain-lain.
Bos memang baik. Ia membayar kami harian. Bisa juga sebenarnya dibayar mingguan atau bulanan, semua tergantung permintaan. Tapi kemarin memang Pak Kajen bilang, bahwa gaji sedikit berkurang karena memang pandemi ini membuat permintaan barang-barang dari Toko Mekar menjadi berkurang. Ditambah lagi memang orang kampung belum bisa balik modal untuk belanja lagi. Maka dari itu, bermunculanlah para pedagang tuak, ciu, dan bir. Tingkat orang mabuk juga bertambah. Terutama anak-anak muda yang libur sekolah, atau malah sudah putus sekolah, tapi masih pengangguran.

DI PASAR INI, tidak biasanya ada tukang palak. Sekarang semenjak pandemi bermunculan orang dari luar daerah mengamen atau memalak. Memang sudah pernah diperingatkan, terakhir malah ditangkap sama pak polisi. Tapi ya mungkin cuma disel berapa hari saja, setelah itu balik lagi ke pasar, ke jalan-jalan. Mereka sering tidur di bawah papan iklan.
Di petang hari, setelah aku selesai dari kerja di Toko Mekar, aku melewati banyak sekali papan iklan yang disewakan. Aku pun berfikir bahwa orang-orang yang usaha dengan modal banyak saja sampai tidak masang iklan, artinya keadaan juga mengenai mereka. Sering kuperhatikan banyak kedai kopi yang sepi, warung makan dan resto juga sepi. Tapi selalu saja kutemukan pengamen yang malam-malam mengitari mobil ketika lampu merah. Ada perempuan, anak-anak, dan orang bertato yang mungkin pergaulannya sama preman-preman pasar itu.
Papan-papan iklan itu adalah tempat paling nyaman mereka nongkrong. Bahkan seringkali mereka sengaja tidur-tiduran di sana, sambil nunggu lampu merah. Membawa gitar kecil, dan menghafal lagu cinta yang sendu. Kadang-kadang genjrengan musik meraka fals, suaranya juga kabur menembus ke ujung malam yang kacau. Seperti mendengar mimpi buruk yang bercokol dari kehidupan jelata.
Siapa yang tahan hidup di kota seperti ini? Di kampung kami juga sedikit tidak betah. Di jalan menuju rumah, aku bertemu segerombolan anak muda yang mabuk. Mereka memandangku dengan mata merah yang geleyeran. Dan tiba-tiba suara mereka mengangkat.
“Eh, bagi uang!”
Aku kaget mendengar kata-kata itu. Di ujung jalan ke utara, masih menyala lampu warna-warni di depan warung tuak itu.
“Nggak ada, Bang.”
“Masa nggak ada, bukannya habis kerja lu.”
Gerimis perlahan turun, semakin rapat. Dengan siap-siap aku menaiki sepedaku menembus pekat malam. Dan tiba di depan rumah dengan napas yang tersenggal.
“Kenapa kamu, Nu.”
“Ada pemabuk di perempatan jalan sana, Pak.”

NAMAKU IBNU, anak seorang kuli toko. Ibuku jualan di pasar. Dari ketela, pisang mentah, sampai warung makanan kecil, dan aneka gorengan. Kami keluarga sederhana. Dengan kebun kecil yang kami tanami pohon pisang dan ketela. Ada sedikit bayam katu, dan cabe untuk menunjang hidup keluarga kami saat masa-masa sulit ini.
Hari-hari semakin tidak jelas. Pasar juga sepi. Jalanan kota sepi. Beras kami menipis. Keluar rumah makin terasa tidak aman. Tapi aku sengaja pergi ke kota, bersepeda tapi tidak membawa uang. Aku kadang ingin melihat orang gila yang tidur di bawah papan iklan yang kosong, disewakan, ada nomor tapi sepertinya tidak pernah dihubungi. Aku menyimpannya sekedar untuk kusimpan. Barangkali suatu hari bisa kuhubungi, ketika peluang kerja menjadi kembali terbuka. Tapi itu cuma mimpi yang kusadari ketika pagi beranjak ke ruang kamarku yang sepi.
oOo

TENTANG PENULIS: Khanafi, tinggal di Yogyakarta. Tulisannya berupa puisi, esai dan prosa tersiar dan tersebar di media daring maupun cetak, seperti Koran Tempo, KalamSastra.id, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Majalah Pusat, Riau Pos, Kompas.id, Beritabaru.co, Detik.com, dan lain-lain. Ia pernah beberapa kali mendapat penghargaan dari lomba puisi dan esai. Sehari-hari ia bekerja sebagai editor lepas, penerjemah bebas, perancang sampul buku dan penjual buku-buku lawas juga baru. Ia tengah menyelesaikan novel pertamanya juga sedang mengulik satu buku terjemahan. Di sela-sela kegiataan mengedit naskah bakal buku dari beberapa penerbit, ia selalu meluangkan waktu melukis di atas kanvas.
Buku kumpulan puisinya yang telah terbit: Akar Hening di Kota Kering (SIP Publishing: 2021) kini bisa dibaca secara gratis di aplikasi baca buku digital; Lentera App, dan buku keduanya Bunga Bengkok di Dadamu (KataPilar Books: 2023) mendapat penghargaan sebagai Finalis Sayembara T Alias Taib, yang dilakukan di Kuala Lumpur pada acara Kuala Lumpur International Book Fair atau PBAKL (Pesta Buku Antarbangsa Kuala Lumpur) tahun 2023.
Ia founder penerbit Buku Piramid dan kurator media penyiaran sastra InstaPosT-Puisi (Instagram) yang mana akan dikembangkan lebih lanjut ke dalam bentuk cetak, yaitu Majalah Sastra Huesca dan Zine Fragmen (Seputar Puisi). Penulis bisa dihubungi melalui e-mail: afisaja043@gmail.com. No. WA: 082226921885. No. Rekening Bank: 0447748196 (BNI) a.n Khanafi.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu.

