
Oleh: Naufal Nabilludin
Pesan DM Instagram dari seorang senior, berisi tangkapan layar akun @dutabacaindonesia_, menjadi awal dari kejengkelan saya. Awalnya saya hanya membalas dengan emoji tertawa, karena di bio akun itu tertulis “Official Duta Baca Indonesia”. Dalam hati saya bergumam, “Buset, Duta Baca Indonesia yang resmi dari Perpusnas aja nggak nulis official di bio-nya.”
Saya tahu betul, nama “Duta Baca Indonesia” bukan nama sembarangan. Itu adalah program resmi dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), yang setiap lima tahun sekali memilih tokoh berpengaruh yang benar-benar punya dedikasi nyata dalam dunia literasi. Maka ketika melihat nama yang sama dipakai oleh akun ini, saya mulai merasa ada yang ganjil.


Saya telusuri akun Instagram tersebut. Ternyata, di dalamnya terpampang foto-foto finalis dengan busana fashionable dan keterangan asal sekolah atau kampus. Namun yang paling mencengangkan adalah keberadaan kode QRIS untuk voting di slide kedua. Dengan membayar Rp30.000, publik bisa memberikan 5 poin dukungan kepada finalis pilihannya. Finalis dengan perolehan suara tertinggi otomatis masuk Top 6 dan menyabet gelar 3rd Runner-Up Duta Baca Indonesia 2025.
Ini bukan kompetisi gagasan. Bukan pula ajang kontribusi literasi. Ini kontes popularitas berbasis uang.
Syarat Minim Literasi

Rasa penasaran saya bertambah. Saya menelusuri syarat dan ketentuan yang tercantum untuk mengikuti ajang ini. Hasilnya mengecewakan—tidak satu pun syarat menyebutkan pengalaman membaca, menulis, atau keterlibatan dalam komunitas literasi. Sebaliknya, peserta justru diwajibkan memiliki tinggi dan berat badan proporsional, berpenampilan menarik, belum menikah, sehat jasmani dan rohani, serta “memiliki nilai 3B”—yang tidak dijelaskan maksudnya.
Syarat-syarat ini terdengar lebih mirip seleksi kontes kecantikan daripada ajang literasi.
Yayasan Tak Terdaftar
Saya mulai menyelidiki penyelenggara acara ini. Di bio akun tertulis bahwa ajang ini dinaungi oleh Yayasan Outfithologhy Pageant, dengan nomor registrasi AHU-006910.AH.01.30.Tahun 2024. Saya lacak ke situs resmi Kementerian Hukum dan HAM (https://ahu.go.id/pencarian/profil-yayasan), tetapi tidak ada data yang muncul. Yayasan ini tidak terdaftar.

Saya kemudian menghubungi kontak person di akun Instagram, dan menanyakan prosedur pendaftaran. Dijelaskan bahwa peserta harus membayar biaya registrasi sebesar Rp100.000 ke rekening atas nama Sultan Malik Badaruddin Kholmi, sebelum mengisi Google Form.
Saya juga bertanya mengenai legalitas yayasan. Kontak person tersebut kemudian mengirimkan guide book dalam bentuk PDF. Di dalamnya dijelaskan bahwa Yayasan Outfithologhy Pageant sebenarnya berada di bawah naungan PT Saraswati Mahardika Indonesia, sebuah badan usaha yang berkedudukan di Surabaya.


Saya coba mencari informasi lebih lanjut mengenai PT tersebut. Hasilnya minim. Situs resmi perusahaan tidak ditemukan. Hanya ada akun Instagram dengan username @yayasanoutfithologhypageant, yang justru menambah pertanyaan soal transparansi dan legalitas.
Namun belum berhenti di situ.

Dalam guide book juga disebutkan bahwa peserta yang terpilih sebagai finalis diwajibkan membayar biaya karantina dan lisensi sebesar Rp500.000. Bahkan disebutkan bahwa karantina akan dilakukan secara online.
Duta Baca Indonesia versi Swasta
Saya mengonfirmasi langsung kepada penyelenggara soal penggunaan nama yang identik dengan program resmi Perpusnas. Kontak person menjawab:
“Memang benar, dan kita dalam naungan swasta yaa kak. Dan mereka dalam naungan pemerintah. Tapi kita dipelopori oleh pemuda-pemudi.”
Jawaban ini memang membedakan sumber naungan, tapi tidak menjelaskan mengapa menggunakan nama yang sama dengan program resmi negara, terlebih jika tanpa izin dan tidak memiliki orientasi literasi yang jelas. Publik bisa dengan mudah tertipu, dan menyangka ajang ini adalah bagian dari program literasi nasional.
Bahkan di kolom tag akun Instagram tersebut, ada pengguna yang terlihat mengira akun ini resmi—menandai @golagong (Duta Baca Indonesia dari Perpusnas) bersama dengan akun @dutabacaindonesia_ dalam satu unggahan. Kekeliruan ini menunjukkan bahwa penggunaan nama yang identik memang berpotensi menyesatkan.
Duta-Dutaan Tak Boleh Dibiarkan
Jika dibiarkan, ajang-ajang seperti ini akan membuat publik salah kaprah tentang makna literasi dan siapa itu Duta Baca. Padahal, Duta Baca Indonesia yang sebenarnya adalah mereka yang diangkat berdasarkan rekam jejak nyata dalam mempromosikan budaya membaca dan berpikir kritis, bukan mereka yang membayar biaya pendaftaran dan menang lewat voting berbayar.
Lebih mengkhawatirkan lagi, tren “duta-dutaan” semacam ini kini semakin marak di media sosial, terutama di kalangan anak muda. Banyak dari ajang tersebut menyusun mekanisme yang mengandalkan biaya registrasi, seleksi simbolik, dan kontes vote digital yang bernuansa transaksional. Nilai dan makna digantikan oleh kemasan dan popularitas.
Ini adalah bentuk komersialisasi citra—menggunakan label yang tampak “bermanfaat” untuk mendulang keuntungan pribadi atau kelompok.
Ajang Anak Muda Harusnya Adu Ide dan Gagasan
Bukan tidak boleh mengadakan ajang untuk anak muda di media sosial. Justru sangat penting menghadirkan ruang apresiasi yang menyenangkan dan membuka peluang. Namun sayang, jika semangat tersebut justru dibelokkan menjadi ladang keuntungan, tanpa dasar nilai dan kompetensi.
Jika ajang seperti ini dibiarkan tanpa kritik, bukan hanya reputasi istilah “Duta Baca” yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan budaya literasi itu sendiri.

