
Oleh: Zaeni Boli
Kota kami tidak seperti kota besar pada umumnya—jam 21.00 lewat saja sudah dianggap larut di sini. Hari ini, 16 Mei 2025, saya kembali mengikuti FGD Pendidikan Flores Timur, yang kali ini digelar di Aula Rumah Jabatan Flores Timur—tempat yang lebih lega dibanding lokasi FGD pertama yang terasa sesak.
Jika bicara pendidikan, maka hal itu tentu tak bisa dilepaskan dari soal kehadiran sebuah perpustakaan. Kabar menggembirakan, hampir satu tahun ini Flores Timur akhirnya memiliki Perpustakaan Daerah yang megah. Sayangnya, perpustakaan ini sepi dari pemberitaan maupun upaya-upaya yang menjadikannya lebih dari sekadar kantor bagi para pegawai.

Seharusnya, Perpustakaan Daerah bisa menjadi ruang publik bagi masyarakat kota Larantuka khususnya, dan masyarakat Kabupaten Flores Timur umumnya. Maka, sepertinya dibutuhkan langkah-langkah kreatif untuk menghidupkan suasana perpustakaan ini.
Malam ini, saat saya melintasi Perpustakaan Daerah Flores Timur—yang kebetulan bersebelahan dengan lokasi pasar malam—saya tak bisa tidak membandingkan. Lampu-lampu pasar malam tampak cerah ceria, menarik hati. Sementara sorotan lampu dari perpustakaan terlihat suram, nyaris seperti kuburan. Agak berlebihan memang, tapi begitulah kenyataannya.


Andai saja ada keberanian untuk berpikir lebih jauh: bagaimana caranya agar perpustakaan yang telah menelan begitu banyak biaya ini bisa benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Kalau kehabisan ide, bolehlah belajar dari pasar malam.
Yuk, bisa yuk, belajar dari pasar malam—meskipun sederhana, ia mampu menarik pengunjung jauh lebih banyak daripada perpustakaan. Padahal, untuk menikmati aneka permainan di sana, kita harus membayar. Sementara membaca buku atau mengakses informasi di perpustakaan? Gratis, loh.
Ayo, warga masyarakat Flores Timur, kita ramaikan Perpustakaan Daerah Flores Timur. Kalau bukan kita, siapa lagi?

