Oleh: Alexander Robert Nainggolan

* staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat

Dalam salah satu tulisannya, Nirwan Dewanto, selalu seorang kritikus, mengeluhkan tentang minimnya para penyair kita yang menulis prosa atau bukan puisi. Seolah-olah, seorang penyair merasa sudah cukup, apabila menulis puisi, seolah telah melakukan suatu kerja kreatif yang paling berharga dalam hidupnya. 

Hal ini terbukti, dengan karya-karya teks sastra yang ditulis, malah kurang baik dibanding puisi yang dihasilkannya. Keadaan ini, menurut saya, terpulang dari dua sebab. Pertama, para penyair kita tidak bersedia diri untuk melatih dirinya menulis hal-hal yang panjang, yang sifatnya naratif. Kedua, kurangnya disiplin kerja dari para penyair, banyak yang menganggap pekerjaan menulis puisi adalah pekerjaan yang sambil lalu, yang juga melalui hal ini terbentuk citraan diri seorang penyair—sebagai seorang pemalas. 

Minimnya, karya prosa yang dihasilkan para penyair ini, barangkali merupakan sebuah bukti, bila pengalaman esktetika yang dibentuk seorang penyair dalam karya prosanya, tidak sebaik dari pengalamannya menulis puisi.

Tentunya, semua itu terlepas dari para wartawan kita yang juga satrawan, atau wartawan kita yang juga penyair. Sebab, pekerjaan seorang wartawan, terutama dalam menulis berita saja, tercermin bagaimana penguasaan dirinya terhadap bahasa. 

Bila saat ini, kita temui seorang penyair yang hanya menulis puisi an sich. Maka, yang tergambar di benak, betapa minimnya sebuah proses kreatif seseorang! Memang, dalam sebuah puisi tercermin, bagaimana penelusuran seseorang dalam proses penemuan jati dirinya sendiri. 

Dalam mitologi Yunani, diibaratkan sebagai sisifus yang selalu dikutuk oleh dewa. Senantiasa mengangkat beban batu di pundaknya hingga ke puncak gunung, kemudian digelincirkan lagi. Begitu seterusnya. Artinya, sebuah proses yang sungguh-sungguh, mencirikan kemampuan seorang penyair dalam menguasai percakapan sehari-hari, tentang kemampuan bahasa yang tak bernuansa verbal semata. 

Dengan proses yang kaya itulah, sebuah puisi yang baik tumbuh. Barangkali, kerja kepenyairan di masa lalu, semacam zaman Chairil perlu ditinggalkan, yang harus merelakan diri berhari-hari, hanya untuk menemukan sebuah kata. Sebuah proses, tulis Gabriel Marquez, merupakan suatu siklus yang tak berhenti, bukan dengan melakukan pendogmaan: sekali berarti sudah itu mati!

Sebuah puisi pun menandakan sebuah kegelisahan, yang tak perlu lagi beramah-tamah dengan kehidupan. 

Ia bisa saja menyendiri, kemudian berteriak dengan mantranya, sebagaimana yang dilakukan oleh Sutardji. Bahkan, menjauhi realitas sosial yang terjadi di masyarakatnya. Wujudnya begitu otonom, mutlak dan tunggal. Sehingga tak ada orang yang bisa mengganggu gugat sebuah puisi setelah ditulis, bahkan oleh penyairnya sendiri. Puisi menjadi sebuah ruang yang tak bertepi bagi para pembacanya untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks. 

Barangkali, dengan proses yang terus-menerus itu, akan terkikis, menciptakan guratan pengalaman, dan menimbulkan sebuah alur. Saya teringat pada sebuah cerita pembantaian yang keji pernah dilakukan oleh sekelompok tentara. Bagaimana mereka melakukan penyiksaan terhadap tawanannya, dengan menempatkan tawanan tersebut ke sebuah lubang yang jauh dari permukaan tanah. 

Tawanan itu terus ditetesi air, setiap saat, setetes demi setetes di atas kepalanya, setelah diperiksa selama seminggu, ternyata kepala sang tawanan berlubang. Cerita tersebut barangkali teramat menyeramkan dalam bayangan kita. Namun, saya bisa menarik sebuah kesimpulan kecil, bila sebuah kerja yang dilakukan secara terus-menerus, maka akan didapati sebuah hasil yang sempurna.

Seorang penyair, semestinya menginsafi dirinya sendiri, dengan tidak mengutamakan diri menulis puisi. Sebab, bukan hanya dalam sebuah puisi penampakan kecanggihan kata dan bahasa akan terlihat. Kerja kata merupakan kerja yang tak aus waktu, tak kenal lelah, semuanya dapat ditemukan dalam apa saja, sebuah artikel berita, opini, tinjauan buku, esai, ulasan-ulasan seni, terlebih lagi dalam prosa! 

Pekerjaan seorang penyair, lebih kompleks dari itu semua. Ia bukan hanya menumpahkan segala carut-marut apa yang dirasakannya, kemudian melakukan transfer di atas kertas putih, tanpa menimang keadaan. Barangkali, tindakan semacam itu, hanya merupakan tindakan mubazir. 

Malah akan menimbulkan kesan, bahwa ia hanya bisa menulis puisi, selain puisi tidak! Kerja penyair relatif kompleks, bukan melulu berbicara vokal dan lantang dalam sebuah forum kesenian, yang hanya melambungkan namanya sendiri, dan hanya berkarya an sich via puisi.

Jika ingin melihat seorang penyair baik atau tidak. Tinjaulah dari tulisan-tulisan naratifnya, bagaimana ia menghidupkan kata-kata, bacalah pula  memoar-memoar yang ditulisnya. Sebab, menulis prosa disadari atau tidak justru lebih rumit dari puisi! Sebuah puisi, barangkali dapat datang dengan segera, diksi-diksi bisa dikombinasikan dengan mencari padanannya. Namun, sebuah prosa harus menunjukkan wilayah yang lain, selain penampakkan tokoh yang nyata (bukan imaji), alur yang jelas, karakterisitik yang nyata, meski tidak melulu berbincang tentang sebuah realitas an sich. 

Setidaknya, imajinasi kerap dibutuhkan dalam menulis prosa, namun dengan cara yang lebih spesifik, sehingga membentuk sebuah jalinan narasi yang kuat. Maka, saya pikir, seorang penyair yang baik, harus dapat menulis prosa yang baik. Begitu pun sebaliknya. 

Seorang penyair pun nampaknya harus belajar banyak, menggali segala situs kenangan yang dimilikinya, melakukan perampingan terhadap diksi-diksi yang dengan seketika menyergap pikirannya. 

Ia bisa belajar pada apa saja, tentunya dengan melakukan berbagai eksplorasi. Menilik posisi kehiduopan bahasa kita yang makin kompleks, dengan kesemrawutan etika berbahasa, memang merupakan suatu tantangan yang berat bagi seorang penulis untuk sekedar menemukan bentuk yang harfiah dari sebuah kalimat. 

Dengan begitu akan terlihat dengan jelas, bagaimana penguasaan seorang penyair terhadap tata bahasa, dalam melakukan rangkaian percobaan (eksperimen) dalam laboratorium kata-katanya. Sebab, pergelutan yang sungguh-sunguh itu akan tercermin dalam kepiawaian penyair menyusun kalimatnya dalam sebuah narasi panjang. Barangkali, narasi itu akan menjadi besar. 

Hal ini tentu suatu pekerjaan yang tidak mudah, cukup rumit, dan jauh lebih besar daripada pekerjaan menulis sebuah puisi. Bagaimanapun langkah yang harus ditempuh akan menjadi panjang, dengan menyatakan lebih daripada yang dimaksudkan. 

Bisa saja kita menemukan sebuah puisi yang penuh dengan keliaran imajinasi. Namun, ternyata ketika coba melakukan transfer, puisi tersebut lumpuh di mata pembacanya, dengan melakukan sedikit penambahan, untuk menjadi sebuah prosa. 

Katakanlah, eksperimen penyair, dengan mengobrak-abrik sebuah puisi yang dituliskan menjelma jadi sebuah prosa. Puisi memang terlihat angkuh, sepintas, karena ia terkadang terdiri dari rangakain kata yang manipulatif, sehingga terkadang pula bahasa puisi menjelma jadi suatu yang abstrak. 

Maka, ketika sejumlah penyair mulai menuliskan prosa, tindakan itu merupakan suatu pergulatan yang menandakan pergumulan secara total dalam mencapai suatu wilayah estetika tentang kata-kata. 

Barangkali, kalimat itu akan menjelma sebuah hal yang ajaib—mendobrak, bahkan cenderung lebih liar dari puisi-puisi yang dituliskan. Seorang penyair, bagaimanapun, sampai kapanpun tetaplah orang biasa, yang merasa perlu mempelajari segalanya dari amsal. Ia akan senantiasa belajar dan tak memiliki pengetahuan tentang sebuah tulisan ketika menulis suatu hal.

Sang penyair yang baik, tentu bisa memilih, kapan ia mesti menulis puisi, kapan pula ia akan menulis prosa. Penguasaan terhadap medan kata-kata di tangan penyair dalam menggerakkan penanya mutlak dilakukan, terutama untuk melakukan penundaan-penandaan terhadap sebuah realitas yang ditangkapnya. Terkadang, realitas itu pun datang dengan tidak penuh. Terkadang hanya separuhnya, sehingga sang penyair perlu mengisi separuh yang lain dengan imajinasi.

Maka, apabila banyak orang mempersoalkan langkah sulitnya memilih antara kebenaran dan kebohongan dalam karya sastra, hal ini disebabkan karena hal di atas. Para penyair, cerpenis, atawa novelis cenderung menangkap realitas yang sepotong-sepotong itu dalam karya mereka. Sehingga membuat para pembacanya terkesima, heran dan aneh terhadap sebuah realitas yang tenah dibangun. 

Begitu pun dalam puisi, realitas yang pernah disodorkan dalam sebuah karya kerap membuat kita kehilangan tanya. Apa benar ada kejadian semacam itu? Orang semacam itu? Dsb. Tapi disinilah arti sebuah imajinasi, dalam bahasa John Lennon, “Imajinasi bisa mengepakkan sayapnya, meninggalkan ruang dan batas. Sehingga tidak lagi terpaut aturan-aturan, meninggalkan batas negara—wilayah, atau apapun yang pernah membelenggunya.”

Untuk itu, seorang penyair perlu terus mencari bagaimana ia bisa mengekpresikan seluruh kemampuannya. Tentunya, lewat pembendaharaan kata yang dimilikinya. Ia perlu mengali seluruh leluhur, masa silam, kenangan, harapan, impian, ataupun kekuatan yang ada. Dengan tidak hanya menuliskannya lewat puisi, bisa dengan bentuk tulisan lain, yang bisa memperlihatkan susunan dan jalinan yang ditangkapnya.

Mungkin, setelah sebuah prosa ditulis akan terungkap segala tudung gelap yang pernah menyelimuti kata-kata dalam puisinya. Seperti sebuah awan yang hitam, kemudian berhembuslah angin, menanti sebuah keajaiban akan turunnya sebuah hujan. Dari rintik-rintik air yang jatuh itu, barangkali tersimpan kejernihan dari kata-kata. Sebuah pencarian yang tak berujung dan tak berhenti.

Tentang Alexander Robert Nainggolan

 Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. 

Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023), Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (kumpulan puisi, Penerbit Diva Press, 2024).

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5