Pada 19 Januari pukul 17.30, radio kecil di atas meja mengalunkan “Mulanya Biasa Saja” dari Meriam Bellina. Suaranya bergaung dalam ruangan yang didominasi coklat muda dengan arsitektur bangunan kuno. Cahaya sore menyeret bayangan panjang di lantai, memahat siluet Sepi Bisu di kursi goyang, nyaris menyerupai patung hidup yang menunggu. Di sampingnya, kursi goyang lain bergerak pelan, tanpa kehangatan yang menyertai—hanya gerakan kosong yang mengikuti ritme udara, seakan sesuatu yang pernah ada namun tidak benar-benar hidup.

Jemarinya melingkari cangkir teh madu yang masih panas—uapnya melayang perlahan, bercampur dengan udara yang dingin tak biasa untuk sore seperti itu. Bait lagu itu menyusup ke sela-sela pikirannya, mengaduk ingatan yang setengah pudar. Di antara dengung radio, di sudut ruangan, bayangan kursi itu tetap bergoyang, seakan menyangkal kehampaan yang seharusnya ada di tempat itu.

Ia membaui kembali desir angin di padang rumput, mendengar gema langkah kaki di tanah basah. Di antara semburat senja yang berpendar, seorang pemuda berambut hitam legam muncul, menatapnya dengan mata penuh keingintahuan liar—seperti baru saja merangkak keluar dari lubang ingatan yang terlalu lama terkubur.

Sepi Bisu tidak tahu sejak kapan ia berada di pinggir tebing itu. Waktu di sana seperti riak air: bergerak tanpa suara, tanpa arah, mengiringnya pelan ke pinggir mimpi yang tak pernah selesai. Pemuda itu berdiri di dekatnya, seolah mereka selalu saling menunggu.

“Menurutmu, semua pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan?” tanya pemuda itu pelan, nyaris seperti bicara padanya sendiri.

Sepi Bisu tidak menjawab, tapi rongga dadanya terasa menegang. Ada ruang di mulutnya yang kosong, seolah lidahnya ingat untuk bicara, tapi kata-katanya hilang sebelum lahir.

“Kadang kupikir, pertemuan cuma persimpangan,” lanjut pemuda itu, menunduk. “Kalau salah pilih jalan… kita nggak bisa balik.”

Ia menghela napas. “Lucu, ya. Pulang pun kadang rasanya seperti perpisahan. Balik ke diri sendiri… yang entah kenapa selalu terasa asing.”

Sepi Bisu mengernyit. Kata-kata itu terdengar seolah mendengar bahasa yang setengah terlupakan. Ia ingin bertanya, tapi pemuda itu menatap jauh cakrawala, seperti mencari sesuatu yang tak pernah benar-benar ada.

“Nama,” kata pemuda itu tiba-tiba. “Aku belum tahu namamu.”

“Sepi Bisu,” jawabnya pelan.

“Nama yang … aneh,” gumam pemuda itu. “Tapi aku senang akhirnya kamu berbicara. Sebelumnya, kamu hanya menyimak saja.” Ia menyungging senyum tipis.

Sepi Bisu tertawa kecil. “Bagaimana denganmu? Apakah kau mau menyebutkan namamu?”

Pemuda itu menggeleng pelan, manik matanya sayu mengembun memandangi matahari yang mengiris langit yang nyaris tenggelam.

“Aku akan memberitahumu nanti. Untuk sekarang… mari kita diam saja. Kita habiskan hari singkat ini seperti tak ada yang pernah terjadi.”

Sepi Bisu hanya mengangguk. Hening meluruh di antara mereka. Ketika pemuda itu menggeser lengan, cahaya senja memantulkan biru keunguan di kulitnya—lebam membungkus kulit lengannya seperti peta luka yang terlupa.

“Ini kenapa?” bisik Sepi Bisu.

Pemuda itu melirik sekilas, lalu mengangkat bahu. “Entah. Mungkin tato,” ujarnya setengah bercanda, tapi suaranya pecah.

“Tato?” Mata Sepi Bisu melebar. “Bukan. Itu luka. Kau disakiti?”

Pemuda itu menggeleng cepat, matanya menghindar. “Aku tidak ingat. Tapi… aku ingin tahu bagaimana rasanya dicintai,” bisiknya. Pandangannya menembus jauh, tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang runtuh pelan, seperti harapan yang berkali-kali mati.

Kalimat itu menusuk dalam dada Sepi Bisu. Ia juga pernah menggumamkan hal yang sama, dulu sebelum cinta menjadi bayangan yang tak pernah berubah.

Tentang dicintai.

Sepi Bisu tahu seperti apa rasanya. Dulu, ia pernah memiliki cinta. Dicintai oleh suaminya—pria dengan bahu kokoh dan kesabaran yang selalu tumbuh, bahkan ketika dunia terus meluruh sekitarnya. Malam-malam mereka dulu tidak pernah sunyi; selalu ada suara napas yang pelan, tangan yang saling mencari, seolah takut suatu hari akan saling kehilangan.

Tapi, sekarang… ada sesuatu yang semakin asing dan ia tak yakin bahwa cinta itu benar-benar pernah ada.

“Aku pernah dicintai,” katanya pelan.

Pemuda itu menoleh, matanya dibasahi cahaya senja. “Bagaimana rasanya?”

Sepi Bisu menghela napas. “Seperti dilahirkan kembali dengan tubuh dan ruh yang berbeda. Seperti kau berteriak sekencang-kencangnya di tepi lautan. Lalu kau melayang bebas. Tak terbayangkan.”

Dan sebelum mereka sempat sadar, mereka mencondongkan tubuhnya. Bibir mereka bersentuhan, hampir seperti permohonan. Angin tiba-tiba berubah, tidak lagi terasa sejuk dan membelai, tetapi lebih tajam, membawa aroma logam yang samar. Rasanya ada sesuatu yang telah lama berkarat di dalam waktu.

Pemuda itu tersentak, tubuhnya menegang, seolah baru menyadari hal yang selama ini ia abaikan. Sepi Bisu merasakan getaran di udara, bukan suara, bukan gerakan, tetapi tekanan yang muncul dari kekosongan yang menuntut untuk dikenali.

Dentuman keras.

Pemuda itu melengkung ke depan, tubuhnya jatuh seperti sehelai kain yang kehilangan bentuknya. Sepi Bisu tidak sempat bereaksi. Sesuatu yang hangat menetes di wajahnya. Ketika ia mengangkat tangan untuk menyentuhnya, kehangatan itu menguap bersama serpihan senja yang berpendar di langit.

Seseorang datang dari gelap: berjubah hitam, langkahnya pincang, sebuah pistol berputar di jari.

Langkah berat mendekat. Sepi Bisu menunduk, tubuhnya gemetar, tetapi di sela guncangan itu ada sesuatu dalam dirinya tetap diam—bagian dari dirinya yang sudah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya dunia melipat diri sendiri di hadapannya.

Orang itu berjongkok di sampingnya, bisikannya dingin seperti embusan maut.

“Waktu sudah habis, Nona. Kau harus kembali.”

Dunia melipat dirinya sendiri dan langit runtuh dalam kedipan mata. Angin kembali berembus dingin, dan tiba-tiba semuanya terasa aneh. Sepi Bisu merasakan sesuatu menariknya kembali, tetapi bukan berupa sentakan, melainkan pelukan yang dingin, seperti rengkuhan yang tak terlihat dari dimensi lain tanpa buru-buru.

Dentuman terakhir menggema di udara. Kali ini tidak meledak—hanya menjadi gema yang semakin lama semakin jauh, semacam suara yang meredup menuju kepunahan.

Sepi Bisu terbangun. Radio kecil masih mengalunkan Mulanya Biasa Saja, mengulang bait yang sama. Udara di ruangan tetap, tapi jantungnya berdetak lain. Cangkir teh madu di genggamannya masih hangat, tapi tangan itu gemetar, seperti menyentuh batas dunia yang nyaris hilang.

“Kita damai sekarang,” bisiknya.

Kemudian, pandangannya teralihkan pada tubuh kaku yang duduk di sampingnya dengan kursi goyang yang sama. Kepala yang berambut pirang, bahu yang tak kokoh seperti semula tetapi bertambah subur pada kesabaran untuk rebah ke dalam liang lahat. Senyum semakin samar, rengkuhan kian hambar dan meninggalkan kecemasan yang semakin abadi.

Sepi Bisu tersenyum lebar, mengayunkan kursi goyangnya perlahan. Tubuh di sampingnya tetap diam, tapi kehadirannya masih terasa—begitu dekat, begitu nyata.

Ia mengalihkan pandangan ke foto di meja. Senyum di sana tampak lebih hidup dari sebelumnya.

Lalu, suara berbisik atau mungkin hanya gema dalam kepalanya.

“Kita tidak pernah mati.”

Sepi Bisu tertawa kecil.

Di jendela, senja merayap pelan di dinding. Radio terus bernyanyi, seolah waktu sendiri tak tahu
harus bergerak ke mana.[]

Kabupaten Padang Pariaman (2022—2025)

TENTANG PENULIS: Palito, lahir di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat, 18 Oktober 2001. Alumnus Bimbingan Konseling (BK) di Universitas PGRI Sumatra Barat, tahun 2023. Ia dikenal terus belajar dan mengeksplorasi gaya menulis yang membawa pembaca menyelami ruang-ruang gelap refleksi sosial dan eksistensial.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5