Oleh Naufal Nabilludin

Satu bulan terakhir, jujur saja, saya menghabiskan banyak energi dan waktu untuk mengulik fenomena duta-dutaan swasta—sebuah keresahan bersama yang menjengkelkan.

Hasilnya? Tidak begitu mengecewakan. Yayasan fiktif yang sempat mengadakan ajang “Duta Baca Indonesia” versi swasta akhirnya membuat klarifikasi, meminta maaf secara terbuka, dan mulai mengembalikan uang para peserta.

Dari situ juga, saya menemukan fakta-fakta menarik lainnya. Mulai dari terkuaknya sekitar 5-6 akun duta-duta lain di bawah naungan yayasan fiktif itu, masalah peserta yang membayar mahal, uang hadiah yang tidak diberikan, sampai peserta yang cerita seperti diteror agar membayar denda 2 juta karena mengundurkan diri ajang itu.

Tapi justru dari proses itu, saya mendapat lebih banyak informasi soal bagaimana sistem ini bekerja—dan betapa meluasnya jaring-jaring duta-dutaan ini. Setelah saya mengangkat isu ini, beberapa teman memberikan informasi soal ajang yang lain. “Duta ini katanya ada indikasi kekerasan seksual, duta ini menyebar data pribadi jika mengundurkan diri, duta ini menggelapkan dana peserta, dll”

Ternyata, ini bukan sekadar ajang selempang-selempangan. Ini sudah menjadi bisnis baru—yang memanfaatkan anak muda haus validasi di era media sosial. Ajang yang tampak intelektual dari luar, tapi dalamnya cuma parade kostum dan catwalk. Tidak ada esai, tidak ada riset, tes pengetahuan dan tidak ada kontribusi.

Duta sejarah yang tidak pernah bicara soal sejarah.
Duta baca yang tidak perlu membaca buku.
Duta perlindungan anak yang bahkan tak tahu apa itu perlindungan anak.

Ini ironis. Kebodohan yang terus diproduksi, ditiru, dan lama-lama dianggap wajar. Dan ketika kebodohan diorganisasi dengan baik, ia bisa tampak seperti prestasi. Ini berbahaya.

Kemarin, saat berbicara di RRI Banten bersama Santri Lawyer, kami menyarankan agar pemerintah daerah mulai peka terhadap tren ini. Harus ada inisiatif dari dinas-dinas untuk menyusun ajang resmi dengan standar yang sehat. Misalnya: “Tidak perlu cantik, yang penting berprestasi dan ngerti.” Karena memang, memahami isu jauh lebih penting daripada sekadar terlihat anggun dalam balutan selempang.

Tren ini sebetulnya bukan hal baru. Tapi media sosial membuatnya tumbuh cepat dan tanpa filter. Semua orang ingin terlihat cerdas. Ingin diakui. Ingin dipuji. Banyak yang ikut ajang, lalu bikin ajang sendiri. Semua ingin punya gelar duta di bio Instagram.

Jika dibiarkan, ajang seperti ini akan kehilangan arah. Bukan lagi ruang adu gagasan, tapi jadi catwalk dadakan—fashion show berbungkus literasi. Padahal, literasi bukan soal tampilan. Ia kerja sunyi, penuh napas panjang, dan jauh dari gemerlap.

Dan gelar bukan sesuatu yang dibeli. Tapi sesuatu yang diperjuangkan.

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5