
Oleh: Ulhiyati
Aku masih ingat betul rasanya saat lampu bioskop mulai redup dan film Jumbo dimulai. Awalnya aku hanya ingin menonton film animasi lokal sebagai bentuk dukungan terhadap karya anak bangsa. Tapi yang kutemukan jauh melampaui ekspektasi. Aku pulang bukan hanya dengan mata yang sembap karena air mata, tapi juga dengan hati yang penuh sesak dan hangat di saat yang bersamaan.
Dari detik pertama, animasinya langsung mencuri perhatianku. Kualitas visualnya sangat menakjubkan, halus, ekspresif, penuh warna, dan penuh detail. Hal itu membuatku lupa bahwa ini adalah karya buatan negeri sendiri. Jujur, aku bangga. Bangga karena film ini membuktikan bahwa Indonesia bisa membuat animasi yang kualitasnya setara dengan Disney dan studio animasi besar lainnya.

Yang juga membuatku terkesan adalah pengisi suara. Mereka tidak hanya membaca dialog, tapi mereka menjadi tokohnya. Suara mereka menyatu dengan karakter masing-masing, menghidupkan emosi yang keluar dari setiap gerakan dan tatapan. Bahkan karakter “Mbee” di film tersebut, diisi oleh artis papan atas. Itu menjadi bukti bahwa film ini memang dibuat dengan sepenuh hati.
Tapi, yang paling membekas tentu saja ceritanya. Di permukaan, Jumbo memang tampak seperti film anak-anak: ada petualangan, persahabatan, sedikit konflik, dan makhluk-makhluk imajinatif. Namun, begitu aku menonton lebih dalam, aku sadar bahwa film ini menyimpan begitu banyak luka, kerinduan, dan rasa kehilangan. Emosi yang tidak main-main. Emosi yang hanya bisa dipahami sepenuhnya oleh mereka yang menonton dengan hati.

Atta, misalnya. Ia mungkin terlihat jahat di awal film. Tapi siapa sangka, di balik semua itu ada rasa iri yang mendalam—rasa kehilangan yang belum sembuh. Ia hidup dalam kemiskinan, tanpa orang tua, hanya bersama abangnya. Ia merasa tak punya apa-apa. Lalu ia melihat Don, anak yang meskipun tidak punya orang tua, tapi Don masih punya nenek dan buku hasil buatan orang tuanya. Dari situ aku mulai sadar: kejahatan Atta bukan karena benci, tapi karena rindu yang tak terjawab.
Setiap tokoh punya luka masing-masing. Don sendiri kehilangan orang tuanya. Mae berasal dari panti. Nurman hanya hidup dengan kakek dan kambing-kambingnya, dan Meri—karakter hantu di film Jumbo pun tengah berjuang untuk menyelamatkan orang tuanya yang sedang disekap oleh orang jahat.

Ada satu hal yang sempat jadi perbincangan, yaitu tentang kehadiran hantu dalam cerita. Aku membaca komentar yang menyebut film ini bertentangan akidah. Tapi bagiku, ini soal sudut pandang. Imajinasi anak-anak adalah dunia tanpa batas. Hadirnya hantu di sini bukan untuk menakut-nakuti, tapi justru menjadi medium untuk menyampaikan rasa kehilangan, penantian, dan kasih sayang yang belum selesai. Tinggal bagaimana orang tua menjelaskan kepada anak-anak tentang perbedaan antara imajinasi dan kepercayaan.
Dan satu hal lagi, lagu yang dinyanyikan Don begitu indah dan menyayat. Tidak heran jika sekarang viral, karena liriknya seperti meringkas seluruh rasa yang ada dalam film ini. Aku sampai menangis waktu mendengarnya. Rasanya, film ini memang bukan untuk anak-anak saja. Justru, yang paling dalam tersentuh adalah kami—para orang dewasa yang pernah merasa kehilangan, pernah merasa tidak cukup, dan pernah berharap bisa kembali ke masa kecil yang penuh keajaiban.

Jumbo bukan sekadar film animasi. Ia adalah karya seni. Ia adalah pelukan hangat untuk jiwa-jiwa yang lelah, dan pengingat bahwa setiap anak punya cerita, setiap luka butuh tempat, dan setiap kehilangan akan menemukan caranya sendiri untuk pulih.
Bagi siapapun yang belum menonton Jumbo, tontonlah. Tapi jangan sekadar melihat animasinya. Dengarkan ceritanya, rasakan emosinya. Karena film ini akan berbicara langsung ke hatimu, pelan-pelan, lalu tinggal di sana cukup lama.


