
Saya pernah ke Au Dhabi dan diberi tahu teman-teman di sana, bahwa Lionel Messi pernah tidur di Emirate Palace, yang didominasi warna keemasan. Tarifnya 30 juta rupiah permalam. Hmm. Mungkin kalau saya menginap di sana, sumpah, tidk akan bisa tidur. Memikirkan uang itu akan bisa dipakai untuk mendanai beberapa kegiatan di Rumah Dunia.

Di kawasan candi Borobudur, Magelang, tanpa melihat nama hotelnya, saya check-in. Ketika diberitahu tarifnya Rp 7 juta/malam, saya nyengir kuda. Sudah terlanjur check in, sekalian norak saja, saya berterus terang cuma punya dana Rp 3 juta. Ternyata tidak ada. Saya meminta maaf dan ngeloyor pergi. Hah, salah masuk saya.


Saya memulai tradisi check-in di hotel pada 1980, kelas 2 SMA. Saat melakukan perjalanan Jawa-Bali. Atau saat kliling Indonesia, 1986-87. Saya check-in menyesuaikan keadaan. Jika sedang gembira, saya check-in di teras masjid, peron stasiun, pasar induk, terminal bus, atau pos polisi. Saya bersenang-senang. Kalau lelah dan butuh mencuci pakaian kotor, saya check-in di penginapan melati di sekitar terminal atau stasiun, yang kalau malam hari terdengar suara “ah uh ah uh” dari kamar sebelah.

Kebiasaan itu kemudian jadi bervariasi pada 1989 setelah saya jadi Gol A Gong. Peluncuran buku, jumpa pengarang, dan pelatihan menulis bersama Gramedia di beberapa kota, memberikan fasilitas hotel berbintang sekelas Santika. Juga saat keliling Asia, 1990-92, saya masih check in di teras masjid sepanjang Singapura – Kuala Lumpur – Hatyai – Patani – Songkhla-Bangkok. Bahkan di Wat – tempat ibadah orang Budha.

Sekarang jika yang mengundang dengan APBN, fasilitasi hotelnya Aston, Harris, Arya Dhuta, atau Horison. Kisaran Rp 1 – Rp 2 juta. Setelah pulang berkegiatan, saya total beristirahat dan tidur pulas. Saya sudah harus masuk ke kamar hotel pukul 21.00-22.00 WIB. Saya butuh jam tidur yang memadai agar esok harinya bisa segar beraktivitas. Kadang dengan berat hati harus menolak ajakan teman-teman kongkow di warung kopi hingga larut malam.

Jika yang mengundang komunitas atau menggunakan dana APBD, saya bisa menyesuaikan. Hotel Melati di tengah pasar, itu paling saya suka. Bahkan kadang di taman bacaan. Happy saja. Tapi ketika jadi Duta Baca Indonesia 2021-2025, saya dianjurkan untuk tidak tidur sembarangan lagi. Itu untuk menjaga kesehatan. Supaya bisa beristirahat dan tidur nyenyak sehingga keesikan harinya segar lagi karna kegiatannya masih menumpuk. Alhamdulillah, semua bisa menyesuaikan tanpa perlu rumit dan berlebihan.


Intinya, orang-orang yang memiliki tanggung jawab besar, mendapatkan amanah dari negara untuk suatu hal, memang harus kita maklumi untuk bisa beristirahat dengan nyaman sepanjang tidak berlebihan dan sesuai dengan tanggung jawabnya. Jadi jangan kaget jika tarif hotel menteri saat perjalanan dinas mencapai harga Rp 9,3 juta. Tapi kalau kita keberatan, protes saja. Atau paling rasional, tuntut menteri itu agar kinerjanya memihak kepada kita sebagai pembayar pajak.
Gol A Gong
Duta Baca Indonesia 2021-2025
Membaca Itu Sehat, Menulis Itu Hebat

