
Auliatus Syarifah – Alumni Kelas Menulis Rumah Dunia Ke-38
Musim haji sudah nampak di depan mata, siaran-siaran berita di televisi pun sudah ramai mewartakan serba-serbi ibadah haji tahun ini. Mulai dari persiapan haji, keberangkatan, oleh-oleh khas Tanah Arab, hingga kisah inspiratif dari calon jemaah haji. Sebagai salah satu rukun Islam, setiap Muslim tentu sangat mendambakan dirinya dapat menjadi tamu Allah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.
Bukan saja hanya kesiapan fisik, nyatanya ibadah haji juga memerlukan kesiapan materi yang tidak sedikit. Maka tak heran, bagi sebagian orang beranggapan bahwa ibadah haji hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki harta yang berlimpah saja.
Sedangkan mereka yang hidup di kelas menengah ke bawah, melaksanakan haji merupakan impian yang tak mungkin terealisasikan. Padahal, pada kenyataannya, tak sedikit juga calon jemaah haji yang berangkat dari keterbatasan dan ekonomi yang pas-pasan. Tak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah mengizinkan.

Saat kali pertama membaca judul buku ini, saya pikir isinya hanyalah narasi yang berkaitan dengan praktik ibadah haji, yang mungkin disampaikan dengan bahasa baku dan membosankan. Ternyata dugaan saya melenceng jauh.
Buku ini sangat asyik untuk dijadikan kawan bersantai sembari menikmati secangkir kopi. Sebab, penulis menyajikan pengalamannya menggunakan bahasa keseharian yang tentu ringan dipahami. Meski menggunakan bahasa keseharian, namun penulis tetap menyuguhkan wawasan pengetahuan tentang seluk-beluk ibadah haji dari abad ke abad.
Melalui karya yang bersampul biru ini, penulis menyajikan berbagai kisah soal haji dalam masyarakat Jawa, Aceh, Sumatra, hingga Maluku pun ada. Dari buku ini kita dapat menambah khazanah pengetahuan, serta membayangkan betapa antusiasme dan heroiknya perjuangan orang-orang terdahulu untuk dapat menyempurnakan rukun Islam yang kelima ini.
Orang Jawah dan Jejak Melayu di Tanah Suci
Sejak tahun 1860, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua di Mekkah setelah bahasa Arab itu sendiri. Ini menandakan bahwa di antara semua bangsa yang berada di Mekkah, ‘orang Jawah’ atau Asia Tenggara menjadi salah satu kelompok terbesar di sana. Orang Jawah dan Jejak Melayu di Tanah Suci

Bagi umat Islam Indonesia, sedari dulu ibadah haji memiliki peranan yang sangat penting. Saking pentingnya ibadah haji ini, ada kesan bahwa masyarakat kita lebih mementingkan haji daripada bangsa lain. Tak hanya itu, rasa hormat dan penghargaan masyarakat terhadap mereka yang telah menunaikan haji juga memang lebih tinggi.
Dalam masyarakat Indonesia, orang-orang yang sudah pernah berhaji mendapat sapaan Bapak Haji atau Ibu Hajjah setelah mereka kembali dari Tanah Suci. Sedangkan di negara Pakistan, Persia, Turki, Inggris, atau negara lainnya, tak ada sebutan Haji atau Hajjah kepada mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Tentu saja sangat berbeda dengan masyarakat kita.
Sekitar abad ke-11 Masehi, ajaran Islam masuk dan tersebar luas di Pulau Jawa. Mulai dari kalangan wong cilik alias rakyat biasa, hingga para pemimpin kerajaan pun berbondong-bondong memeluk agama Islam. Misalnya saja Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram, mereka menyatakan dirinya sebagai negara Islam.
Dari Sunan Gunung Jati hingga Masyarakat Bugis

Seiring dengan masuknya ajaran Islam di Pulau Jawa, maka tak sedikit dari mereka yang pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekitar akhir tahun 1400-an, tercatat Sunan Gunung Jati adalah orang yang pertama kali berangkat dari Jawa ke Mekkah. Yang mana, pada tahun itu juga merupakan masa awal pendirian Kerajaan Islam Demak.
Menunaikan ibadah haji merupakan salah satu impian bagi jutaan umat Muslim di penjuru dunia. Antusiasme untuk melaksanakan rukun Islam kelima ini juga dirasakan oleh masyarakat Bugis. Bagi mereka, haji ialah sebuah kehormatan. Tak berhaji bagi orang Bugis artinya belum menjadi Muslim yang utuh.
Maka, tentu saja banyak cara mereka usahakan agar bisa pergi berhaji. Salah satunya yaitu dengan menabung bertahun-tahun. Mereka menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit dari hasil panen padi, cokelat, maupun tanaman lainnya. Selain mengumpulkan uang, mereka juga membeli emas secara mencicil. Ketika emas atau tabungan mereka dirasa cukup, tak pikir panjang mereka langsung pergi untuk mendaftar haji.
Haji Ikan dan Ragam Cerita Unik di Tanah Suci

Tak hanya menjelaskan dan menggambarkan bagaimana orang-orang berhaji tempo dulu, penulis juga membagikan pengalaman dan hal-hal unik seputar haji. Salah satu hal unik itu ialah bahwa orang-orang Indonesia mendapat julukan ‘Haji Ikan’ oleh masyarakat Arab di sana.
Hal ini dikarenakan jemaah haji Indonesia sering bolak-balik kamar mandi. Berkeringat sedikit, mandi; wudu; dan mencuci pakaian dengan menggunakan air secara berlebihan. Sedangkan orang Arab lazimnya mandi sehari sekali dan sangat hemat dalam menggunakan air. Maka tak heran, warga Mekkah menyebut orang Indonesia sebagai ‘Haji Ikan’ karena boros air.
Lewat penelusuran yang panjang, penulis menghadirkan cerita soal haji pada tempo dulu dan masa kini. Kita bisa membayangkan betapa orang tua dahulu begitu susahnya berjuang untuk bisa pergi berhaji. Tak lupa, penulis juga membagikan kondisi Arab Saudi yang dari waktu ke waktu terus berbenah diri untuk menyambut tamu Allah.
Identitas Buku
Judul Buku: Tawaf Bersama Rembulan
Penulis: Muhammad Subarkah
Penerbit: Republika
Tahun Terbit: 2020
Tebal Buku: 360 Halaman
ISBN: 978-623-7458-40-1

