
Perkenalkan, saya setan.
Saya sedang tidak bergurau ketika mengatakannya, dan dalam keadaan sadar, tanpa ada tekanan, tanpa pengaruh minuman beralkohol—faktanya, setan memang tidak mengonsumsi alkohol. Saya adalah setan sebenar-benarnya setan, bukan sekadar metafora, bukan sekadar bayangan yang diciptakan oleh manusia untuk menutupi sesuatu yang mereka sendiri enggan akui.
Di antara sesama setan, saya biasa dipanggil Tan. Namun, itu tidak terlalu penting, dan Anda boleh memanggil saya dengan sebutan apa pun, sesuai kehendak Anda. Yang terpenting, Anda berkenan dan bersedia membaca kisah saya. Kisah yang barangkali dapat sedikit mengubah cara pandang Anda terhadap setan.
Di siang yang terik dan berdebu ini, saya hendak menemui pemimpin setan, raja di atas raja para setan. Panas matahari merayap pelan, melekat di permukaan kulit seperti ingatan yang menolak mentah-mentah untuk dihapus. Meski saya terbuat dari nyala api, itu tak menjamin bahwa terik matahari tidak dapat menyakiti sama sekali. Sementara, angin berembus, tak jelas dari arah mana, sekadar membawa suara-suara yang sulit dipahami.
Oh ya, mengenai pemimpin setan yang tadi saya singgung, Beliau dikenal dengan sebutan Tuanku Dajjal. Setan terhebat yang pernah ada, tetapi hanya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di atas singgasana, terkekang oleh rantai-rantai yang tak kasatmata dan mengganggu setiap pergerakannya, semacam mimpi buruk yang berulang di setiap malam.
Entah sampai kapan Beliau akan terus duduk-duduk dan terkekang rantai seperti itu, tak ada yang tahu pasti kecuali Tuanku Dajjal sendiri dan Zat yang menghendaki keadaan tersebut. Meski demikian, dari atas singgasananya, Tuanku Dajjal memegang tongkat komando tertinggi, memerintahkan beragam hal kepada seluruh setan di dunia tanpa ada yang berani mengingkari.
Mendekati akhir masa, rantai-rantai yang mengekang pergerakan Tuanku Dajjal kelak terlepas dengan sendirinya, seakan-akan mempersilakan Beliau turun dari singgasana. Menurut desas-desus yang beredar, setelahnya, Tuanku Dajjal melakukan apa yang tak bisa setan biasa lakukan, semisal berinteraksi dengan manusia dan menampakkan diri secara visual, atau melakukan hal yang bersifat ilahiah.
Melalui satu jentikan jari yang tampak biasa-biasa saja, Tuanku Dajjal dapat membunuh manusia dan menghidupkannya kembali, bahkan melakukannya berkali-kali jika Beliau memang berkehendak demikian. Dengan kemampuan seperti itu, manusia diyakini tak sekadar tunduk, melainkan juga akan mengimani Beliau serupa mengimani Tuhan.
Semalam, Tuanku Dajjal secara khusus meminta saya agar segera menghadap Beliau, bicara empat mata di istana megahnya. Titah yang tentu saja tak boleh ditunda-tunda. Berdasar informasi yang saya dapat dari si pembawa pesan, Tuanku Dajjal hendak mengapresiasi hasil kerja saya yang beberapa hari lalu menjadi buah bibir di kalangan manusia dan tajuk utama di sejumlah media massa, baik cetak maupun elektronik.
***
Di tengah perjalanan menuju istana Tuanku Dajjal, saya menyaksikan seorang pria dengan tampang semrawut duduk sembari menopang dagu di bawah naungan halte bus. Keringat mengalir dari pelipisnya, jatuh satu per satu, meninggalkan jejak basah mencolok pada lantai halte bus yang tampak muram. Kemudian, ujung jemari pria itu menekan pelipisnya sendiri, seolah ingin menahan sesuatu yang hendak pecah.
Saya segera menyentuh pundak pria itu, kemudian mengenai apa yang direnungkannya berlintasan di kepala saya, semacam visual pada layar televisi. Itulah kemampuan istimewa saya, dapat menyelami pikiran manusia hanya dengan menyentuh salah satu bagian tubuhnya.
Selagi saya berkonsentrasi, sosok setan lainnya datang menghampiri, berniat duduk dan melakukan hal serupa terhadap pria itu.
“Pergilah, sebaiknya kau jangan mengganggu!” seru saya, sedikit kesal, memelototinya dengan tajam.
Selalu ada protokol yang mesti dijaga di antara sesama setan, termasuk soal profesi dan pekerjaan. Saya mengibaskan telapak tangan sebagai penegasan, memintanya segera pergi. Ia pun langsung mengerti, lalu mengangguk setuju. Kami, para setan, telah belajar banyak dari kesalahan manusia yang kerap saling menggores demi memuaskan ego.
“Baik, kali ini saya akan mengalah,” ujarnya, memunggungi saya sembari meninggalkan halte bus.
Pria muram yang rupanya bernama Kurnia itu dirundung begitu banyak masalah. Sebabnya, Kurnia tidak bisa membelikan susu formula dan makanan pendamping yang layak untuk anaknya yang masih berusia dua tahun. Belakangan, anaknya lebih sering terbaring lemah di kasur ketimbang bermain di luar rumah. Hendak berobat ke dokter, tetapi terkendala biaya—dan kartu BPJS-nya ditolak karena menunggak.
Bukan karena Kurnia malas bekerja sehingga tidak memiliki cukup uang untuk membeli susu formula atau berobat ke dokter. Melainkan, usaha percetakan tempat ia mencari nafkah sebagai pekerja harian mengalami kebangkrutan, tak ada pendapatan setelah beberapa calon kepala desa yang menjadi pelanggan gagal terpilih lalu mengalami depresi dan gangguan jiwa, sehingga sulit membayar utang. Tak ada pilihan bagi si pemilik, kecuali menutup usaha percetakan serta menjual aset yang tersisa.
Sementara, istri Kurnia yang berprofesi sebagai pekerja migran di Singapura justru kecantol pria lain yang tak jelas asal-usulnya, dan tak lagi mengiriminya uang sejak beberapa pekan yang lalu.
Lebih dari itu, tanpa rasa malu, lebih-lebih bersalah, si istri kerap memamerkan kemesraan bersama pria tersebut melalui akun media sosialnya, membuat hati Kurnia remuk dan hancur berkeping-keping.
Padahal, Kurnia rela meninggalkan pekerjaan kotornya di masa lalu demi membangun bahtera rumah tangga bersama si istri, berjanji sepenuh hati akan menjalani kehidupan yang lebih baik. Namun kemudian, yang diterimanya hanyalah pengkhianatan. Kini, Kurnia terlunta-lunta tanpa arah, tanpa tujuan.
“Kembali saja ke masa lalu demi anakmu,” bisik saya pada Kurnia, berusaha meyakinkannya bahwa selalu ada jalan keluar dalam setiap permasalahan yang Tuhan ciptakan. “Kecuali kau tega membiarkan anakmu terus kelaparan dan kurus kering seperti mayat hidup. Tak ada salahnya, toh, bukankah Tuhan yang kau sembah itu merupakan sosok yang maha pemaaf?”
Pria berperawakan kurus itu langsung bangkit, mendekati seorang wanita yang baru saja melintas di hadapannya. Detik berselang, Kurnia merebut paksa tas wanita tersebut. Dada Kurnia bergemuruh, adrenalinnya terpacuh, dan jantungnya memompa darah lebih kencang dari biasanya. Kurnia berlari secepat yang ia mampu, diiringi teriakan histeris si korban.
“Jambret! Jambret! Tolong, ada jambret.”
Sial bagi Kurnia, ia terpeleset tepat di depan sebuah kios pasar tradisional, menginjak genangan air sisa cucian piring pedagang ketoprak. Tubuh Kurnia berlumur lumpur, tas itu masih tergenggam erat, tapi ia tahu bahwa ia telah dikalahkan oleh nasib dan kenyataan. Di sekelilingnya, wajah-wajah bertampang garang telah berkumpul, menutup seluruh akses pelarian.
Kurnia ditangkap, diikat, dan dipukuli secara bertubi-tubi. Mula-mula dipukuli menggunakan tangan kosong, kemudian berkembang dengan sendirinya hingga melibatkan beragam benda keras. Erangan panjang Kurnia lantas berharmonisasi dengan suara benda-benda yang tersarang di tubuhnya. Brutal dan tanpa ampun. Sebuah mekanisme standar yang kerap diterapkan di negeri ini untuk menghakimi penjahat rendahan seperti Kurnia.
Kurnia menangis bukan karena dipukuli, tetapi teringat anaknya. Anak yang dikucilkan dari pergaulan lantaran sang ayah merupakan mantan pesakitan yang pernah dipenjara akibat kasus penjambretan—dan saat ini kembali menjambret. Anak yang bahkan setiap menyentuh anak lain, orang tuanya langsung berlari dan memaki, lalu segera memisahkan mereka, seolah-olah anaknya dapat menulari penyakit berbahaya.
“Ambil bensin, bakar,” bisik saya pada salah seorang yang sedang asyik menghakimi Kurnia menggunakan balok kayu. Saya merasa prihatin dengan nasib buruk yang menimpa pria itu. Daripada menjalani hidup yang serbasulit dan terus menanggung malu di sisa usianya, lebih baik ia mati sekalian, pikir saya.
Sosok itu segera menjauhi kerumunan, mendatangi kios terdekat. Tak lama, ia kembali dengan menenteng sebotol bensin. Tak ada keraguan sama sekali, bensin itu langsung disiramkan ke sekujur tubuh Kurnia.
“Ayo, bakar!”
“Iya, bakar saja, biar kapok!” seru yang lainnya. “Penjara ternyata tak berarti apa-apa baginya!”
“Iya, bakar! Jangan beri ampun!”
“Arrrgggghhh!”
Kobaran api membumbung tinggi disertai jerit Kurnia dan sorak-sorai kerumunan yang merayakan kemenangan. Saya pun kembali melanjutkan perjalanan menemui Tuanku Dajjal tanpa berniat menunggu hasil akhir dari peristiwa itu.
***
Di dalam istana itu, jeritan Kurnia masih menggantung di udara.
“Tan,” ujar Tuanku Dajjal dari atas singgasananya.
“Iya, Tuanku Dajjal.” Saya membalas, membungkukkan badan tanda hormat.
“Kau tahu kenapa kita diturunkan ke dunia fana ini?”
Saya hanya mengangguk tanpa berani berkata-kata. Bersikap sok tahu di hadapan Tuanku Dajjal bukanlah tindakan yang bijaksana. Saya tidak tahu maksud di balik pertanyaan itu; sekadar bertanya, menguji, atau karena Beliau sedang ingin menjelaskan sesuatu sekaligus menegaskan posisinya yang tahu segalanya.
Tuanku Dajjal sejenak terdiam, memandang langit-langit istana seperti sedang mengingat-ingat sesuatu di masa lalu. Ada kegetiran yang terpancar dari cara Tuanku Dajjal memandang, matanya berkaca-kaca.
“Semua itu diawali oleh kehadiran manusia, makhluk yang secara tiba-tiba menjadi kesayangan-Nya. Karena perlakuan tidak adil itu, kita harus melanggar titah-Nya, lalu diturunkan ke dunia secara semena-mena.”
Sekali lagi saya hanya mengangguk tanpa berani berkata-kata, berusaha memahami perasaan Tuanku Dajjal akan dendam masa lalu yang belum terlupakan. Tuanku Dajjal memang kerap mengulang cerita yang sama kepada siapa saja yang ditemuinya, serupa kaset usang yang terus-menerus disetel.
“Ah, sudahlah, lupakan saja apa kataku barusan.” Tuanku Dajjal mengibaskan telapak tangannya, wajahnya melengos tak tentu arah. “Toh, sebentar lagi aku akan bebas.”
“Baiklah, Tuanku Dajjal.”
“Tan, beberapa hari lalu kau telah melakukan pekerjaan yang hebat, puluhan anggota dewan kau buat korupsi berjamaah,” puji Beliau, tangannya yang terbelenggu menepuk-nepuk pundak saya penuh kebanggaan. “Itu merupakan pencapaian yang sangat luar biasa. Hanya mereka yang berpengalaman yang dapat melakukan pekerjaan seperti itu.”
“Terima kasih, Tuanku Dajjal. Saya sekadar menjalankan tugas sebisanya.”
“Sayangnya, manusia-manusia itu hanya dipenjara selama beberapa tahun dan masih punya banyak kesempatan untuk bertobat di kemudian hari. Dan, itu menjadi tugasmu untuk kembali membisiki mereka, membujuk mereka untuk mengulangi dosa yang sama, persis seperti yang kau lakukan pada Kurnia, orang yang kau hasut dalam perjalanan ke tempat ini.”
Satu hal Tuanku Dajjal dan Anda tidak tahu, saya tak pernah membisiki apa pun kepada puluhan anggota dewan yang dimaksud. Mereka melakukan korupsi atas kesadaran dan kemauan sendiri. Hanya saja, ketika diwawancara oleh jurnalis, salah satu dari mereka mengatakan, “Saya dipengaruhi oleh bisikan setan.”
oOo

TENTANG PENULIS: Arie Fajar Rofian, Pegiat Literasi berdomisili Karawang, Jawa Barat. Karyanya dimuat di berbagai media.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

