Oleh: Aii Aayy

Untuk yang berjuang memiliki tempat untuk pulang …

Kalimat pertama yang menyapaku saat membuka Novel yang ditulis oleh Almira Bastari ini, kalimat itu membuat daya imajinasiku bekerja dengan cepat, meski tidak menonton filmnya di layar bioskop tapi sudah banyak spoilernya mengenai isi novel ini. tentu menjadi pemicu untukku yang menggebu-gebu ingin segera  membacanya lebih utuh. 

Beberapa waktu ini aku sedang perlahan mempelajari literasi keuangan, mulai dari pencatatan, menyusun skala prioritas dalam berbelanja hingga investasi kecil-kecilan. Rasanya seperti menyelam dan tidak ingin cepat-cepat muncul ke daratan. Karena jujur saja, dulu bukan tipe yang mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran. Belanja tidak bijak, mengikuti keinginan hati bukan berdasarkan kebutuhan. Sejak mencoba mempelajarinya justru ini mengasyikkan, terlepas dari berapa pendapatan yang kamu terima setiap bulannya, tetapi bagaimana kita bisa survive dengan nominal yang didapatkan. 

Home Sweet Loan memberikan gambaran bagaimana seorang Kaluna survive dengan hidupnya, bersamaan dengan tekanan-tekanan sosial, sandwich generation,  impian karir dan relationship serta cita-cita kehidupan di masa depannya. Sosok Kaluna ini mencoba memberikan pemahaman bahwa cara meraih kebahagiaan justru dimulai dengan kebijaksanaan dalam mengelola keuangan, bukan hanya datang dari gaya hidup yang mewah dan bergengsi.  

Literasi keuangan ala Kaluna  

Bersahabat dengan 3 orang rekan kerja yang memiliki gaya hidup bergengsi dan mengedepankan standar media sosial, Kaluna berani tampil berbeda dari 3 orang sahabatnya. Kesederhanaan, kemandirian dan pekerja keras menjadi karakter istimewa bagi seorang Kaluna. Di sisi lain, ada satu hal yang sama dalam persahabatan itu, mereka  memiliki mimpi membeli rumah yang layak untuk kehidupan pribadi mereka masing-masing. 

Konsisten dan keuletan kaluna dalam mencatat keuangan pribadi menjadi sorotan bagi 3 orang sahabat lainnya, sekecil apapun pengeluaran kaluna tidak pernah melewatkan pencatatannya. Mulai dari kebutuhan primer kesehariannya, tabungan untuk rumah, cicilan, pernikahan hingga kebutuhan sekunder lainnya.

Begitu pula dalam keluarganya, Kaluna disebut anak satu-satunya yang rapih dan terencana dalam hal apapun. Hal ini sangat penting untukku pelajari, menyusun skala prioritas dalam berbelanja bukan berarti pelit tehadap diri sendiri tetapi belajar membelanjakan uang berdasarkan kebutuhan bukan sekedar fomo atau mengikuti standar media sosial. 

Persiapan masa depan dan Pentingnya pertemanan supportif

Ada satu hal yang sangat menarik menurutku dalam novel berjumlah 309 halaman ini, dari 4 orang yang bersahabat ini, mereka memiliki karakter yang optimis dan merencanakan kehidupan di masa depan sehingga bisa saling support satu sama lain, contohnya bersemangat dalam mencari rumah, meskipun disesuaikan dengan keuangan masing-masing begitupula dengan standar kelayakannya.

Aku belajar memahami, bahwa jika kita memiliki tujuan di masa yang akan datang, maka dorongan untuk mencapainya akan muncul bersamaan dan perlu juga memiliki teman yang se-frekuensi. 

Menata masa depan bukan hanya soal keuangan saja yang diprioritaskan, persiapan mental untuk menghadapi hiruk pikuk kehidupan turut menjadi pembicaraan bagi mereka. Ada satu hal yang tak kalah penting, meski mereka memilih jalan hidup yang berbeda, seperti Tanisha yang sudah menikah dan memiliki satu orang anak, tetapi tidak ada saling membandingkan kehidupan dirinya, sekalipun Kaluna yang belum menikah, sudah berusia 30 tahun dan menyandang status sandwich generation. Bahkan mereka turut membantu satu sama lain, terlebih jika Tanisha membutuhkan untuk menjaga anaknya ketika sedang bekerja ke luar Kota. 

Tanisha, Ibu satu anak yang menjalani LDM ini tak lupa untuk memberikan pencerahan mengenai pernikahan kepada Kamamiya, Kaluna dan Danan yang belum menikah. Tanisha mengungkapkan bahwa Tidak ada yang telat menikah, justru yang ada adalah mereka yang terlalu muda untuk menikah. Muda bukan dilihat dari usia, tapi pemahaman bahwa life after marriage lebih menantang, harus lebih sabar, harus lebih berkorban, harus jadi orangtua yang baik dan tekanan-tekanan lainnya. Sementara diri kita mungkin belum merasa bahagia pada masa sendirinya. 

Pendapat Tanisha itu membuat mereka tersadar, begitupula denganku sebagai pembaca. Persiapan untuk keputusan besar dalam hidup memerlukan kesiapan mental yang matang, bukan hanya finansial saja. Segala aspek perlu dipertimbangkan secara proporsional. Jika ditinjau dari kacamata psikologi, seseorang yang memutuskan untuk memulai kehidupan baru bersama orang lain, maka dia harus sudah selesai dengan permasalahan dirinya, agar kebahagiaan tercipta secara utuh dan kolaboratif.

Selain itu, aku juga sedikit memahami nilai aset dan investasi yang diceritakan di novel ini. Bagaimana pentingnya SHM dan IMB dalam kepemilikan rumah, yang terkadang urusan administrasi ini terlihat sepele padahal legalitas kepemilikan ini sangat penting untuk nilai jual dan legalitas hukum. Untuk siapapun yang akan membeli rumah atau KPR dan sejenisnya penting banget untuk crosscheck kelengkapan administrasi dan legalitas, jangan sampai mudah tergiur hanya karena iming-iming kemewahan semata.

Terimakasih Mba Almira Bastari sudah membuat karya sehebat ini, juga terimakasih kepada Bank Indonesia Banten yang sudah memberikan kesempatan untukku berjumpa langsung dengan penulisnya.

Jadi, buat kalian yang belum baca, wajib banget baca!.

RAK BUKU  adalah resensi buku. Upayakan tulisannya membangun suasana lokasi membaca, personal literatur. Boleh juga menulis seperti catatan perjalanan. Panjang tulisan 500 hingga 1000 kata. Honor Rp100 ribu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, identitas buku, nomor WA, rekening bank, foto-foto cover buku, penulisnya sedang membaca bukunya. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek: Rak Buku

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5