
Oleh Ririe Aiko
Perjalanan berkesan tak selalu harus mahal. Sebab keindahan sejati tak pernah menyoal harga—ia hanya butuh mata yang bersedia melihat, hati yang siap merasakan, dan langkah yang jujur menyusuri arah.
Itulah sebabnya, saya memilih Kebumen. Bukan Yogyakarta yang gemerlap seni dan sejarah, bukan pula Bali dengan segala pesonanya. Tapi Kebumen—sebuah kota kecil di selatan Jawa yang sering luput dari peta wisata.
Kebumen, bagi sebagian orang mungkin hanya sebuah persinggahan. Tapi bagi saya, ia adalah tujuan. Sebuah nama yang saya lingkari dalam bucket list perjalanan, bukan karena pamornya, tapi karena daya tariknya yang tersembunyi. Kota ini seperti bisikan kecil dari semesta, mengajak saya menyelami sisi sunyi yang justru menghidupkan.
Saya memulai perjalanan dari Stasiun Kiaracondong, Bandung. Dengan ransel di punggung dan semangat petualang, saya memilih kereta ekonomi. Bukan kereta eksekutif yang serba nyaman—karena memang beginilah gaya perjalanan saya.
Perjalanan hemat bukan berarti murahan; justru di sanalah saya belajar bahwa kebahagiaan tak harus dibeli dengan harga mahal. Yang penting bukan seberapa besar dana yang dibawa, tapi seberapa tulus kita menikmati setiap detik di jalan. Ukuran bahagia bagi saya sederhana: bisa melangkah, melihat hal baru, dan merasa cukup—meski hanya dengan fasilitas paling dasar.

Kereta ekonomi itu, meski tanpa kemewahan, menghadirkan kenyamanan yang jujur. Saya duduk tenang, merasakan getar roda yang mengalun di atas rel, suara khas pengumuman stasiun yang mengisi ruang, dan lanskap hijau yang berlari pelan di balik jendela. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan, seperti meditasi yang bergerak, seperti ruang hening di tengah deru kehidupan.
Setiap perjalanan dengan kereta adalah bab pembuka yang selalu saya rindukan. Di atas rel itu, saya seolah membaca kisah baru—yang belum saya tahu ujungnya, tapi selalu saya sambut dengan debaran penuh antusias.
Menjelang malam, saya tiba di Kebumen. Udara yang panas langsung menyapa kulit, membuat saya tak perlu mengenakan jaket tebal saat menyalakan motor sewaan. Jalanan kota lengang, lampu-lampu temaram menyulap suasana menjadi syahdu. Aroma khas kota kecil ini membawa saya ke dalam kenangan masa kecil: tenang, damai, dan jujur.

Saya langsung menuju tempat makan. Perjalanan kuliner malam adalah cara tercepat mencintai kota yang baru. Malam itu, saya menyantap semangkuk soto Tamanwinangun—kuah santan dengan potongan daging entok yang gurihnya menyusup sampai ke ingatan. Harganya hanya Rp13.000, tapi rasa dan hangatnya menempel hingga ke hati.
Tak berhenti di sana, saya mencicipi sate Ambal pinggir jalan, yang dibanderol dengan harga Rp12.000 seporsi. Bumbu kacangnya manis lembut, berpadu mesra dengan daging yang empuk dan harum khas arang. Perpaduan rasanya yang lezat, membuat saya melahap habis dua porsi sate sendirian.
Dalam perjalanan pulang menuju penginapan, perhatian saya tertuju pada gerobak kecil di pinggir jalan yang menjajakan Tahu Petis khas Kebumen. Tanpa ragu, saya melipir dan membeli beberapa potong. Rasanya sederhana, namun punya keistimewaan tersendiri.
Saya duduk di tepi jalan, menikmati tahu petis bersama teman perjalanan, sambil menatap lampu-lampu kota yang redup dan samar. Kadang, kebahagiaan memang sesederhana itu—sepotong tahu petis hangat dan malam yang berjalan perlahan, tanpa tergesa.
Saya memang pencinta kuliner pinggir jalan. Di Kebumen, jajanan kaki limanya tidak hanya menggoda lidah, tapi juga ramah di kantong. Setiap sudut kota seperti memiliki rasa tersendiri—unik, otentik, dan menyentuh keakraban.
Di kota ini, saya bisa menikmati beragam makanan tanpa harus berpikir dua kali soal harga. Rasanya seperti kembali ke masa saat segalanya belum begitu rumit, saat makanan adalah soal rasa dan kehangatan, bukan gengsi dan label mahal.
Setelah perut akhirnya kenyang, saya menuju penginapan sederhana. Inilah esensi dari backpacking: hemat, tapi tetap penuh kesan. Liburan bukan soal kemewahan, tapi tentang bagaimana kita mengisi waktu, mengukir momen bersama orang-orang tercinta, atau bahkan diri sendiri. Inti dari kebahagiaan bukan seberapa banyak kita keluarkan, tapi seberapa dalam kita menikmatinya.

Keesokan paginya, saya melaju ke selatan, menuju Pantai Watu Bale. Jalannya tak terlalu ramai. Sepanjang perjalanan, sawah membentang di sisi kiri kanan, dan sesekali pepohonan kelapa melambai malas diterpa angin pagi. Di beberapa titik, terlihat petani memanggul hasil panen, dan burung-burung beterbangan di langit yang biru.
Ketika tiba, saya seolah melangkah masuk ke dunia lain: hamparan pasir putih kecokelatan, tebing karang menjulang, dan laut biru membentang luas tanpa batas.
Pantai ini masih sepi, masih bersih, belum tersentuh banyak jejak wisatawan. Tiket masuknya hanya sekitar Rp12.000, tiket yang cukup murah, namun keindahannya tak ternilai. Di sana, saya duduk lama di pesisir pantai, membiarkan angin laut menyapu wajah, membiarkan suara ombak berbicara lebih dari kata-kata.

Saya memesan air kelapa muda, dibelah langsung dari batoknya, ditambah es batu yang dinginnya luar biasa. Harganya hanya sekitar Rp10.000, tapi sensasinya seolah lebih mahal dari secangkir kopi premium di ibu kota. Saya menikmatinya sambil menatap senja yang perlahan turun di antara laut biru dan garis karang Watu Bale. Cahaya jingga menyapu laut, dan saya merasa, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, benar-benar hadir.
Yang menarik, tak jauh dari tempat saya duduk, ada gerobak kecil menjajakan kuliner khas pantai selatan: sate yutuk. Saya penasaran. Ternyata, yutuk adalah sejenis binatang kecil mirip udang yang hidup di pasir pantai. Warga setempat menyebutnya “undur-undur laut”.


Setelah dibersihkan dan dibumbui, yutuk ditusuk seperti sate lalu dibakar. Aromanya harum, rasanya gurih dengan tekstur yang renyah. Sate yutuk bukan hanya makanan, tapi cerita tentang bagaimana laut dan manusia hidup berdampingan, berbagi rasa, dan menghidupkan tradisi.
Tak hanya Watu Bale, Kebumen punya deretan pantai lain yang jaraknya berdekatan. Ada Pantai Menganti dengan pasir putih dan perahu-perahu nelayan yang berjejer manis. Ada Pantai Karangbolong yang menyimpan goa-goa kecil dan cerita mistis yang menggelitik rasa penasaran.
Bahkan, dari satu pantai ke pantai lainnya, hanya butuh waktu beberapa menit hingga satu jam. Bagi saya, ini seperti paket lengkap: wisata alam, kuliner, ketenangan, dan keramah-tamahan warga yang sulit dilupakan.

Kebumen mengajarkan saya satu hal: bahwa bahagia itu bisa sederhana. Ia bisa hadir dalam semangkuk soto, dalam bunyi rel yang bergema, dalam tahu petis pinggir jalan, atau dalam angin laut yang menyapa lembut. Kita hanya perlu waktu, keberanian, dan hati yang terbuka untuk menemukannya.
Dan bagi saya, Kebumen bukan sekadar kota kecil—ia adalah rahasia indah yang menunggu untuk ditemukan. Sebuah tempat yang barangkali tak akan menjadi tren, tapi akan selalu punya ruang di hati bagi siapa saja yang tahu cara merasakan.
BIODATA PENULIS
Nama Pena : Ririe Aiko
Nama Asli : Erika Mustikawati

TRAVELING setip hari Jumat. Nah, kamu punya cerita traveling? Tidak selalu harus keluar negeri, boleh juga city tour di kota sendiri atau kota lain masih di Indonesia. Antara 1000-1500 kata. Jangan lupa transportasi ke lokasi, kulinernya, penginapannya, biayanya tulis, ya. Traveling diluar negeri juga oke. Fotonya 5-7 buah bagus tuh. Ada honoarium Rp. 100.000. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dan golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: traveling.
