Terkadang saya membayangkan bagaimana seandainya segala sesuatu tidak ada pasangannya.
Saling berjalan sendiri. Sehingga terbentuk citraan yang baru, meskipun terasa aneh dan janggal.
Namun hal itu malah meninggalkan kesan yang “baru”, semacam mengubah sudut pandang kita
akan suatu hal. Ketika itu terjadi, kita masuk ke dalam sejumlah kerinduan, kegetiran, maupun
kemungkinan lainnya.

Nyatanya dalam keseharian, segalanya berpasangan sebagiamana juga yin-yang: ganjil-genap,
siang-malam, hitam-putih, baik-buruk—semuanya ada kebalikannya. Dan kita selalu tak bisa berdiam
di wilayah abu-abu yang penuh kemungkinan. Barangkali dapat berdiam sebentar di tataran kelabu
itu, namun tetap harus beranjak lagi.

Sebab di antara kegamangan itu pula, nampaknya kita mesti memutuskan untuk berdamai
dengan sejumlah kenyataan realitas yang ada di dalam kehidupan. Atau segalanya memang hanya
sebuah kekosongan (nihil) semata. Dan dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu, beberapa puisi ini
ditulis, mungkin dapat menjadi sejati bukan hanya sebagai bayangan semata. Selamat membaca…

Salam,
Assyifa Chalisa Nainggolan

Assyifa Chalisa Nainggolan
bunga tanpa akar

ia tumbuh, menempuh suluh
hinggap di batang
berbisik pada remang
cahaya yang jatuh
seperti rindu ibu
disekap sembilu
mengembanglah
disimpan angin
yang tergesa
wangi yang mengular
koyak masa lalu
berpendar

2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
rumah tanpa pintu

yang mengetuk
di celah jendela kering
samar hujan
akhir tahun
di celah jendela
genangan air

suara langkah
seseorang,
tak bisa masuk
melulu percakapan
rekaman nasib
dan, bla-bla-bla

yang mengetuk
jendela kaca
sibakan gorden

lalu, bla-bla-bla

tempat yang terawat
masa kecil selalu diingat
hangat kamar
wajah ibu-ayah
suara berita dari layar tv

selebihnya, bla-bla-bla

2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
malam tanpa bintang

hanya kekal yang gelap. masuk ke pelupuk dengan berat
langit yang luas dan kau menggambar dengan tangan yang pucat

“mengapa hanya hitam semata?”
bias cahaya kota
berpatulan pada kaca
menjebak gelandangan
pulas lelah di sudutnya

jauh malam tanpa satupun bintang

2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
laut tanpa ikan

selain garam yang karam
di dasar laut
mengubah segala putih
lebih putih dari susu ibu

kecipak ekor ikan
sisik yang selimuti tubuh
tanpa insang menyelam
di lubang mimpi

laut surut
ombak mengerut

2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
pohon tanpa daun

ingatanku mungkin hanya daun yang jatuh
dibawa angin timur dan merambat ke selatan
juga isak hujan gugur
membiarkan daun hambur

sebetulnya, apa yang ditangkap dari getah hujan?
lembap tanah yang kedap, angin yang runcing melipat
dedaunan sampai tergopoh
terbaring seperti mayat pucat

2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
gunung tanpa sungai

engkau mencari aliran air, untuk kembali ke kaki bukit
membiarkan jernih tubuhmu terbenam
namun kau tak pernah berlayar selain perjalanan yang menggerus waktu

tapi ke mana sungai akan menuju
jika perut gunung sungsang
kehilangan mata air

hanya ada sumbatan
seperti seorang perempuan yang tak selesai
menulis puisi ini

2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
stasiun tanpa kereta

bangku besi tunggu
dingin menyatu kulit
pecahan cahaya led
teks berjalan
terang lampu

gema informasi
sepanjang peron

orang-orang linglung
terbungkus murung
berjalan mundur

“jam berapa kereta akan sampai?”

2024/2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
Suara Jauh

engkau memanggil nama kecilku
dan aku telah sembuh dari segala perkara
bahkan untuk hal remeh tentang asmara

tenanglah, aku akan pulang
bahkan ketika pusara waktu bersandar padaku
hanya sebentar

di antara hujan yang enggan reda
maukah engkau mencium pipiku sekali lagi?

hanya gaung
berpantulan

2025

Assyifa Chalisa Nainggolan
sketsa gelombang laut

laut bergemuruh. perjalanan di atas kapal, angin asin yang lama tercecap di pangkal lehermu. siapakah yang mengirim deburnya ke dada? seperti sebuah sayat dalam selat yang menepikan kita,
miskin kabar dan peristiwa

meski perjalanan makin tua di kepala, manangisi kepergian, seperti malin yang dikutuk telanjang di hadapan bunda
ah, di mana lelaki singgah?
ombak yang selalu melafalkan tanda gelisah,
membaca sejarah yang redup dan gelombang yang memanjang

aku jadi ingat rambutmu, di setiap lengkungan
dan sendu mata yang ingin kudekap
hingga kita terapung, entah di pantai yang mana
seperti juga laut
telah lama kucatat perjalanan di tengah karang
dan lidah matahari
yang begitu hangat mengubur pantai usia

2025

oOo

TENTANG PENULIS: Assyifa Chalisa Nainggolan Lahir di Palembang tanggal 5 Agustus 2006. Saat ini kuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa FKIP Jurusan pendidikan Bahasa Indonesia. Puisinya dimuat di berbagai media. Beralamat di Taman Royal 3 Cluster Edelweiss, Jl. Edelweiss X No. 16 RT. 007 RW. 011 Kelurahan Poris Plawad Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang Banten 15141. Nomor telepon: 0815-17887357. Nomor rekening Bank BNI a.n. Assyifa Chalisa Nainggolan 1867036331.

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 hingga 10 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada honorarium Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya. Jika ingin melihat puisi-puisinya yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5