Oleh Miftah Rahmet

Jika meminjam syair yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i, yang berbunyi, “Bepergianlah, kau akan mendapat ganti orang yang kau tinggalkan,” itu adalah stimulus bagi seseorang yang masih kuat jiwa dan raganya agar tidak berdiam pada satu tempat. Jelajahilah dunia ini, karena engkau akan menemukan pelajaran hidup di dalamnya.

Saat ini, akronim bepergian itu lebih familiar dengan kata traveling. Tokoh kita kali ini pun senang traveling. Di tengah kesibukannya sebagai guru Bahasa Mandarin di Global Indonesia School, ia menjadikan traveling sebagai jalan untuk berdakwah.

Sapaan akrabnya adalah Laoshi Babay, yang mulai menekuni Bahasa Mandarin saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Menurutnya, traveling itu bagian dari mimpinya sedari SD, ketika pertama kali melihat peta. Dengan rasa penasaran seorang bocah, ia berkata, “Pengen ke sini, ke sini,” sambil menunjuk beberapa negara yang ada di Atlas menggunakan jari. Alhamdulillah, dikabulkan Allah. Tidak hanya jari, tapi kakinya sudah ikut menapak, walau terpaut jarak yang cukup lama.

Babay melanjutkan, “Awalnya hanya sekadar cita-cita, pengen keliling dunia, pengen melihat indahnya ciptaan Allah (tentunya) yang tidak terbatas. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika saya mulai mempelajari religius diri sendiri, saya juga punya keinginan—dengan traveling itu—saya bisa mengenalkan Islam.

Pelan-pelan, walaupun saya tidak bisa berdakwah seperti para ulama di mimbar-mimbar. Setidaknya, melalui interaksi sosial dengan orang-orang di luar sana yang memang kebanyakan menganggap Islam itu adalah teroris. Anggapan mereka akan saya bantah dengan perilaku dan akhlak baik yang sudah jadi pondasi hidup saya.”

Wanita kelahiran Serang, 15 Agustus 1987 ini sangat bangga ketika di tahun 2011 ia bisa membuat impiannya menjadi nyata. Negara yang ia tuju pertama kali adalah China. Pertama, karena Babay menguasai Bahasa Mandarin cukup baik, dan kedua, ia mendapatkan program short course yang diadakan oleh P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) yang berada di bawah naungan Kemendikbudristek (di tahun 2011).

Ia masih ingat dengan sebuah ungkapan populer yang didengarnya ketika sekolah madrasah: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Spontan ia bertanya, “Ada apa sih di China?” Konon itu jadi salah satu alasan Babay memutuskan untuk belajar Bahasa Mandarin.

Saat mendapatkan short course dari Kemendikbudristek, Babay mengaku hanya membawa diri, karena semuanya full dibiayai oleh negara. Ia bercerita, “Saya hanya membawa diri. Dari mulai tiket, uang sekolah/uang kampus, uang untuk membeli buku, uang makan, semuanya free. Pokoknya benar-benar bawa diri.”

Ia melanjutkan, “Saya harus diklat dulu di Jakarta, kemudian di 2011 saya apply yang ke Beijing, yaitu di Beijing Foreign Studies University. Kembali lagi ke Indonesia. Berikutnya di 2014, itu di Xiamen untuk belajar budaya dan dialek orang China Selatan.

Kemudian 2015 balik lagi ke Beijing. Waktu yang diperlukan untuk menuntaskan program short course ini kurang lebih dua bulan jika dilakukan dalam sekali tahapan. Dulu program short course seperti ini masih rutin dilakukan tiap tahun. Berhubung P4 sudah digeserkan posisinya oleh BGP, jadi tidak ada lagi.”

Ada dua sosok yang men-trigger Babay melakukan perjalanan mengelilingi berbagai negara di dunia. Pertama, Ibnu Batutah, seorang traveler Muslim yang berasal dari Tangier – Maroko. “Dan Alhamdulillah saya juga pernah ke sana,” ucapnya dengan nada senang.

Kedua, Asma Nadia. Babay merasa perjalanan yang dilakukan oleh Asma Nadia begitu mirip dengan apa yang ia lakukan. “Bahkan kalo saya membaca buku-bukunya Asma Nadia, kok tokoh yang ada dalam buku ini kayak saya gitu, loh. Hehe,” Babay berkelakar.

Berkunjung ke enam belas negara bukanlah sebuah pelarian dari lelahnya rutinitas ia sebagai seorang pengajar. Ia menjelaskan, “Ini bukan sebuah pelarian. This is my passion. Ngajar passion saya, dan traveling juga passion saya. Ketika saya keluar, itu bertemu banyak orang. Belajar lingkungan dan budaya. Akhirnya, dengan mengalami hal itu, saya bisa sharing pengetahuan pada anak didik saya juga. Misal pengalaman kita belajar di luar negeri juga bisa kita sampaikan pada anak didik. Untuk memotivasi tentunya. Dan juga mengingatkan mereka, kalau belajar di negeri orang itu pasti vibes-nya berbeda dengan di Indonesia. Apalagi kalau kita sendiri, udah nggak ada keluarga. Vibes-nya benar-benar berbeda. Jadi harus kuat.”

“Enam belas negara yang Alhamdulillah sudah saya kunjungi yaitu: Cina, Singapura, Malaysia, Hong Kong, Korea Selatan, Uzbekistan, Turki, Belanda, Prancis, Italia, Jerman, Republik Ceko, Spanyol, Arab Saudi, Maroko, dan Oman,” ucap Babay sambil mengingat.

Bicara tentang perjalanan, pasti ada saja hambatan. Nah, ternyata Babay punya cara sendiri dalam menyiasati hambatan itu.

Ia bercerita, “Beruntungnya saya, karena saya pernah mendapatkan beasiswa short course di luar negeri. Teman-teman saya banyak dari negeri lain. Itu poin pertama untuk menghemat transportasi dan akomodasi: tinggal di rumah teman. Tidak hanya tinggal, tapi konsumsi juga ditanggung. Karena kita entertain, mereka pasti bawa kita, kan? Sama halnya kalau kita kedatangan tamu ke rumah kita, pasti kita akan perlakukan sebaliknya. Dan itu pastinya free: akomodasi, transportasi, konsumsi, dan plus-nya silaturahim. Hahaha.”

Untuk tiket, Babay pun selalu menyiasati agar harganya bisa sesuai dengan kondisi budget-nya. Ia bercerita, “Jika mau menghemat sedikit tiket, bisa dari jauh-jauh hari, minimal 3 bulan sebelumnya, lah. Itu sudah pas untuk hitungan para ticket hunter. Atau detik-detik sebelum berangkat, bisa ada yang jual murah (tapi ini tidak disarankan) karena minim persiapan dan risikonya tinggi. Sometimes ada yang jual murah. Bahkan ada juga yang melonjak tinggi banget. Terutama bagi saya, harus punya persiapan.”

“Tahun lalu saya dapat tiket ke Korea Selatan dengan nominal 4 juta pulang-pergi. Itu udah tipis banget. Karena pulangnya aja pakai Air China. Dapat hotel gratis, dengan free breakfast, dan antar-jemput ke bandara juga. Itu jarak dekat belinya. Satu minggu lagi. Dan kenapa saya berani ambil? Karena saya sudah punya visa,” lanjut Babay.

Laoshi Babay pun memiliki tanggapan tentang tagar yang beberapa waktu lalu sempat ramai di media sosial, yaitu #kaburajadulu. Nah, ia menuturkannya seperti ini, “Tergantung orangnya, ya. Karena memang di luar sana, kalau kita bandingkan penghasilan memang jauh. Karena nilai rupiah juga kecil terhadap dolar. Terutama untuk yang single, tagar ini kayaknya cocok banget. Banyak-banyakin uang dan pengalaman. Nanti pulang jadi sultan. Hahaha,” jawabnya sambil tertawa.

“Kalau bisa nabung, jika tidak bisa yah percuma juga. Karena pengeluaran di sana kan mahal. Jika yang sudah berkeluarga, tergantung negara yang dituju itu ke mana. Sometimes, karena kita Muslim, ya otomatis para orang tua itu akan memikirkan pendidikan anak-anaknya. Sementara di Indonesia sendiri yang namanya pendidikan Muslim itu menjamur di mana-mana. Pesantren di mana-mana. Tapi, kalau di luar sana hanya pendidikan umum saja, sudah siap belum mengajari anaknya di rumah?” lanjut Babay.

“Ada juga yang tinggal di sana malah makin bagus agamanya. Mungkin dari personal dirinya sendiri, yang ternyata tidak ada siapa-siapa itu saya hanya bergantung pada Allah, ya. Makin dekat dengan Tuhannya, kan. Makin bisa berakhlakul karimah di negeri orang. Dan mereka bisa menilai kita dari akhlaknya. Lalu dengan sendirinya berkata bahwa ternyata Islam itu memang baik dan bagus. Poin plus untuk kita sebagai ajang dakwah jika bisa memanfaatkan tagar #kaburajadulu,” tutup Babay.

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5