Penulis Yayu Arundina

Benarkah pengetahuan buhun itu tak layak bersanding di era digital ini? Sebuah pertanyaan yang kembali mencuat setelah bertemu dan berbincang dengan mang Ujang Laip.

Di tengah maraknya budaya dan makanan asing menyerbu, banyak warisan leluhur bangsa yang sudah mulai tergerus zaman. Contohnya persoalan bahasa Sunda yang semakin dikhawatirkan ditinggalkan penuturnya. Anak muda yang lebih mengenal dan menikmati salad daripada lotek dan karedok. Beragam kearifan lokal yang tak banyak diketahui oleh generasi muda. Masih adakah urang Sunda? Masih adakah Indonesia?

Mang Ujang Laip merupakan salah satu tokoh penting yang tinggal di Cimahi. Beliau adalah pakar Aksara Sunda. Keahliannya sudah banyak diakui beragam komunitas dan lembaga. Terakhir beliau menerjemahkan 5 naskah kuno bekerja sama dengan perpustakaan Cimahi. Salah satunya adalah Bujangga Manik. 

Mang Ujang Laip lahir di Cicalengka. Terlahir dengan nama lengkap Yudhistira Purana Satyakirti.  Seiring dengan perpindahan tugas ayahnya sebagai CPM, beliau hijrah ke Cimahi. Dari keluarga pulalah mang Ujang Laip mendapatkan ilmu tentang Aksara Sunda. Sekaligus juga sebagai pewarisnya. 

Senin 16 Juni 2025, penulis berkesempatan bincang-bincang singkat tentang dunia literasi dalam acara Festival Literasi Anak Hebat Kota Cimahi. Acara berlangsung di area parkir Pemkot Cimahi. Acara ini dihadiri pula oleh Walikota Cimahi, Letkol Ngatiyana dan Wakil Walikota, Adhitia Yudisthira. Tujuan utama acara ini adalah menggaungkan 7 kebiasaan anak hebat yang telah dicanangkan oleh pemerintah. 

Dalam perbincangan tersebut, rasanya kita disadarkan tentang permasalahan akar budaya, akar identitas diri kita sebagai manusia Indonesia, khususnya urang Sunda. Terasa benar, kita -bahkan generasi muda Indonesia-  telah tercerabut dari akar pohon bangsa, akar pohon jati dirinya. Kita telah melupakan masa lalu. Melupakan kearifan lokal yang adiluhung. Sebuah kearifan luhur yang membumi. 

Sayang, kearifan lokal tersebut hampir hilang ditelan bumi. Berganti wajah dengan kearifan modern yang lebih bersifat materialistis. Dalam beragam naskah kuno, selain cerita juga banyak terselip kearifan lokal ini.  Banyak ilmu dan tuntunan sikap atau karakter yang luhur. Sayang, kita tidak menggali ini. 

Pengetahuan buhun ini ibarat dinosaurus yang tertimbun di kedalaman bumi. Harta karun yang terpendam. Aksara bukan sekedar huruf. Banyak makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Simbol dan seloka yang berisi ajaran atau tuntunan hidup. Pengetahuan yang tersebar dalam beragam media, seperti naskah kuno dan berbagai peralatan dalam hidup manusia. 

Salah satu yang menarik adalah urutan huruf vokal. 

“Mengapa vokal selalu disebutkan dengan urutan a, i, u, e, o?” Tanya mang Ujang. 

“Wah, saya tidak tahu. Memang ada maknanya?” tanya saya.

Kemudian, mang Ujang Laip pun memberikan penjelasan gamblang yang membuat saya berdecak kagum.

Urutan vokal itu punya arti khusus. Terdiri dari lima kata. A untuk acitya. Bermakna elmu pangaweruh. I untuk ikati. Bermakna pituduh kana hate. U untuk ubhaya. E untuk eka yang artinya hiji, satu, atau tunggal. O = ogaya. Bermakna nu pangalusna, paling bagus. 

Pengetahuan buhun tersebut bermakna bahwa manusia itu harus punya ilmu. Dengan ilmulah, dia akan memiliki suara hati yang akan menggerakkannya untuk bertindak. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan yang dimilikinya itulah manusia akan melakukan yang terbaik dalam setiap langkah hidupnya.

Ternyata, aksara Sunda telah menjadi beragam literasi sejak zaman dulu. Sebait ilmu buhun yang sarat makna itu pun menutup perbincangan kami. Meninggalkan sebuah kesadaran baru bahwa ilmu dan pengetahuan buhun tersebut wajib diberikan kepada generasi muda agar mereka tidak kehilangan identitas dirinya.

Sebuah ilmu agung yang tak patut ditenggelamkan oleh zaman. Kearifan lokal yang seharusnya diangkat ke permukaan. Hidup berdampingan dengan pengetahuan baru, perubahan zaman, juga beragam pengaruh budaya asing. Kearifan lokal yang akan melahirkan anak hebat. 

Anak hebat di era digital sekarang ini adalah mereka yang memiliki keseimbangan ilmu buhun dan ilmu modern. Anak hebat adalah mereka-mereka yang mampu mencintai budaya Indonesia sekaligus juga menerima budaya atau pengaruh asing.

Anak hebat adalah generasi muda yang mampu menyelaraskan kearifan lokal di tengah-tengah kebhinekaan global. Anak hebat adalah generasi bangsa yang tetap mengedepankan identitas nasional sekaligus juga bisa hidup dalam dunia global. 

Orang Indonesia terlahir sebagai  dwibahasawan. Orang   Indonesia seharusnya mampu menguasai minimal dua bahasa, bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Orang Indonesia seharusnya hidup sebagai orang daerah yang bisa tetap eksis dengan nasionalismenya.

Kekayaan langka ini seharusnya menjadi gaya hidup orang Indonesia, orang Sunda. Karakter bangsa. Kita seharusnya memiliki kesadaran untuk mencintai daerah sebagai tempat lahir, jati diri sekaligus juga mampu mencintai bangsanya yang lebih luas. 

Kearifan ini harus mulai ditumbuhkan pada generasi muda Indonesia. Tak adil rasanya jika kita hanya melihat dunia luar tapi melupakan bangsanya sendiri seperti Hanafi dalam novel Salah Asuhan. Memuji-muji budaya asing tapi menjelekkan budayanya sendiri, budaya Indonesia. Tahu tentang beragam budaya asing tapi gelap dengan budaya sendiri. Bangga dengan budaya asing tapi malu pada budaya sendiri, budaya Indonesia.

Hal inilah sepertinya yang telah disadari oleh mang Ujang Laip sejak lama. Dalam perbincangan tersebut, berkali-kali beliau mengajukan pertanyaan. 

Neng, leres urang Sunda? Asli urang Sunda?”

Berkali-kali pula saya mengangguk untuk meyakinkan. Namun, berkali-kali pula saya menggeleng ketika tidak tahu dengan ilmu buhun, beragam budaya dan kosa kata bahasa Sunda. 

Perbincangan itu juga meninggalkan sebuah jawaban penting tentang antusiasme mang Ujang untuk selalu ingin berbagi ilmu aksara Sunda dengan beragam cara dan di beragam kesempatan, di beragam tempat. Menyebarluaskan makna literasi yang bukan sekedar aksara atau huruf.

Walau seringkali menjadi pejuang tunggal dan menerima sejuta penolakan. Namun, beliau tak patah arang. Dalam skala kecil, banyak juga yang mendukung. Semangat menggebu yang patut jadi inspirasi semua orang.

Semoga suatu saat nanti, perjuangan mang Ujang bisa bermuara pada laut keberhasilan. Keinginan Mamang menjadi kenyataan. Semua orang mengenal dan memahami aksara Sunda dengan sangat  baik.

Tentang Penulis

Yayu Arundina merupakan nama pena untuk Sri Rahayu Setiawati, S.Pd.  Seorang guru blogger. 

Yayu Arundina mengajar Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Cimahi. Selain  aktivitas utamanya tersebut, sering menuangkan gagasannnya di berbagai media, khususnya blog pribadi https://www.yayuarundina.com

Di samping itu juga, Yayu Arundina sudah melahirkan satu buku solo dan beragam buku antologi. Buku solonya berjudul Transformasi Media Sosial ke Bahasa Indonesia

Di luar profesinya, Yayu Arundina juga banyak mengikuti kegiatan komunitas. Tjimahi Heritage sebuah komunitas pecinta sejarah dan heritage Cimahi. Komunitas blogger Bandung. Juga Komunitas Guru Belajar Nusantara. Dari berkomunitas inilah sering datang inspirasi untuk menulis. 

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5