Oleh Agus Helfi Rahman

“Kadang dua cahaya hanya jadi bayangan yang lebih gelap.”

Kemarin petang, bersama anak-anak dan istri, saya nonton F 1-nya Brad Pitt, di Cinnepolis MOS. Wah! Sungguh hiburan yang sangat mengasyikkan, membuat sisi emosional saya teraduk-aduk. Dan kurang ajarnya film ini, di bagian akhir yang jadi puncak twist-nya, saya bareng dengan Sonny Hayes (Brad Pitt) sedikit berair mata haru. Tapi hanya sesaat, kami sama-sama kembali ke karakter asli sebagai bad boy.

Film yang disutradarai oleh Joseph Kosinski ini sangat menghibur dan dibuat dengan sangat baik–alurnya epik, penggarapan sinematografinya apik. Film ini benar-benar tentang kekuatan dan keterbatasan Brad Pitt sebagai aktor. Bayangkan, seorang ‘bajingan’ seperti Brad Pitt yang berusia 61 tahun membintangi film balapan mobil selevel formula satu.

Mungkin di film tersebut Sonny Hayes diidentikkan di usia 50-an. Tapi kecerdikan sineas memilih tokoh ini diperankan oleh Brad Pitt, bagi saya justru itu melambangkan karakter atau metafora kegigihan. Brad Pitt, dengan kulit wajahnya yang berkerut dan tatapan seakan lelah, serta tato di sekujur tubuhnya, itu adalah senjata yang jadi magnet utama film ini.

Bagi saya, Sonny Hayes di F1, justru dia memerankan karakter Brad Pitt sebagai bintang film jadul— seorang ronin klasik sekelas Miyamoto Musashi yang mewakili kemurnian di lanskap yang dikompromikan. Hal yang lucu tentang Brad Pitt oleh Sonny Hayes ditampilkan sebagai pecundang yang gagal dengan kehidupan yang sederhana adalah bahwa ia tetap terlihat seperti baru saja selesai pemotretan majalah, kemeja denim setengah terbuka untuk memamerkan kalung bohemiannya, lengan baju digulung untuk memamerkan tatonya, dan kacamata penerbang di bawah sinar matahari sore.

Anda yang mengikuti keseharian Brad Pitt di dunia nyata, justru sering digambarkan oleh berbagai karakter di film-filmnya. Sebut saja karakter-karakter; Sonny Hayes (F 1), Smith (Mr. and Mrs. Smith) Don Collier (Fury), Achilles (Troy), Garry Lane (World War Z), Billy Beane (Monet Ball), Rusty Ryan (Ocean 13, Ocean 12, Ocean 11), Tom Bishop (Spy Gane), Jerry Welbach (The Mexican), Tyler Dudeen (Fight Club), Joe Black (Meet Joe Black), Jeffery Goines (12 Monkeys), Tristan Ludlow (Legend of the Fall), karakter-karakter tersebut sangat mirip dalam kehidupan pribadinya, sebagaimana saya amati pada akun media sosialnya di The Man, atau pemberitaan-pemberitaan versi Hollywood. Ah, tapi itu sih saya saja yang terlalu sedikit Pittean atau Pitt minded.

Okelah, mari saya ceritakan tentang film F 1 ini.

F1 adalah kisah dua pembalap yang menjadi rekan kerja yang enggan ketika salah satu dipekerjakan di tengah musim Formula Satu dalam upaya terakhir untuk menyelamatkan tim Apex yang sedang terpuruk. Sonny Hayes (Brad Pitt) adalah seorang veteran yang tumpang tindih dengan legenda F1 Ayrton Senna, sementara pendatang baru Joshua Pearce (Damson Idris) muncul di era baru yang semakin muda, di mana para prospek mencatat jam dalam simulator.

Mereka mewakili dua generasi olahraga tersebut, tetapi untuk sebagian besar film, mereka digambarkan lebih seperti Goofus dan Gallant dari balapan otentik. Joshua mengenakan pakaian trendi dan memiliki kondominium ramping di kota, sementara Sonny, yang tidak peduli dengan uang, tinggal di dalam mobil berkemah.

Joshua menyibukkan diri dengan tes VO2-max dan mesin pelatihan reaksi, sementara Sonny lebih suka berlari di luar dengan anggota kru pit yang berteman dengannya dan melatih refleksnya dengan memantulkan bola ke dinding.

Namun, saat Joshua merasa khawatir dengan apa yang dikatakan orang tentang dirinya secara daring dan tentang menunjukkan wajahnya di acara sponsor, Sonny akhirnya merasa berkewajiban untuk angkat bicara. Semua hal itu tidak penting, katanya — satu-satunya hal yang penting adalah cara mengemudi.

Kedatangan Hayes di tim pembalap Apex GPF 1 adalah atas undangan, tepatnya bujukan Ruben (Javier Bardem), mantan rival sekaligus sahabatnya, memintanya bergabung dengan tim yang sedang berada di posisi papan terbawah ajang internasional F 1, serta sedang terancam bangkrut. Tugas Sonny: melatih pembalap muda arogan, Joshua Pearce (Damson Idris), dan menyelamatkan tim dalam sembilan balapan tersisa.

Saat kedatangan Hayes ke markas Apex, seluruh kru, termasuk direktur teknis Kate (Kerry Condon), kepala tim Kaspar (Kim Bodnia). Bahkan Ruben sendiri tampak jadi sempat meragukan melihat begitu cueknya cara Hayes mendatangi tim. Hayes diragukan dan terlalu tua untuk peran tersebut (menjadi pembalap tandem dan melatih Pearce. Hayes mantan pembalap Formula 1 yang karirnya hancur akibat kecelakaan tragis 30 tahun silam.

Namun Ruben memberi garansi, ditambah pendekatan Hayes kepada tim yang begitu cepat mengundang simpati. Demikian pula pendekatannya secara personal kepada masing-masing kru, membuat Hayes lekas diterima semua. Karakter Hayes juga selalu sedikit menyendiri, mampu memberikan pesona yang luar biasa tetapi selalu menyimpan aspek-aspek dirinya sendiri.

Pearce sang petahana di Apex, adalah pembalap utama tim yag diandalkan dan menjadi citra perusahaan. Dia masih muda berbakat dan sangat ambisius, sukses, bintang iklan, party goer, pokoknya tipikal American dreams. Dia sering digambarkan sebagai sosok yang memiliki dedikasi tinggi terhadap olahraga. Sifatnya berani, kompetitif, dan terkadang egois. Dia berjuang untuk mencapai puncak dan tidak ragu untuk menghadapi risiko, baik di trek maupun dalam kehidupan pribadi.

Sementara Hayes, seorang pembalap veteran yang lebih berpengalaman. Dia berfungsi sebagai mentor bagi pembalap muda, menunjukkan kebijaksanaan dan strategi. Sonny Hayes difigurkan sebagai sosok urakan tapi bijak, tenang, dan memiliki pandangan yang lebih luas tentang balapan. Dia memahami bahwa ada lebih dari sekadar kemenangan, termasuk nilai persahabatan dan tim.

Baik Pearce maupun Hayes, keduanya memiliki ambisi yang kuat, tetapi cara mereka mengekspresikannya berbeda. Joshua lebih berfokus pada kemenangan pribadi, sementara Sonny lebih menekankan pada pentingnya tim dan pengalaman. Hubungan antara keduanya bisa menciptakan ketegangan, dengan Joshua yang mewakili generasi baru yang agresif, sementara Sonny mewakili tradisi dan pengalaman.

Karakter-karakter ini tidak hanya menggambarkan dunia balap, tetapi juga menyoroti tema universal tentang ambisi, persahabatan, dan pembelajaran dari pengalaman.

Secara sinematografi, saya menggarisbawahi setidaknya dua kekuatan dari film F 1 ini: 

  1. Sihir Teknis yang Revolusioner

Adegan balap dirancang sebagai roller coaster sensorik. Kamera ditempatkan di stir, mesin, bahkan helm pembalap, menciptakan ilusi seolah kita sebagai penonton menjadi bagian tim pit. Efek G-force divisualisasikan lewat distorsi lensa wide-angle dan gemuruh bass yang menghunjam dada. Tata suaranya, tentu saja sangat memenuhi kategori dolby stereo.  Konon juga katanya, Pitt dan Idris melakukan 90% adegan berkendara sendiri dengan kecepatan 290 km’jam. Dan katanya lagi, adegan tabrakan di Monza diambil dari insiden nyata Romain Grosjean (2020), lengkap dengan simulasi “cobra roll” efek CGI yang memicu jeritan penonton.

  1. Brad Pitt: Personifikasi Karisma Old-School

Pitt menampilkan Sonny sebagai “koboi aspal” dengan filosofi zen: “Slow is smooth, smooth is fast. Usia tua Brad Pitt, kulitnya yang mulai jelas mengerut–terlihat jelas dari saat wajahnya terjepit helm– suara ringan tawanya yang seolah mengejek, dan taut serius saat dia marah, dan rahang jantannya, justru itu jadi senjata dan magnet flm ini. Saya ingat persis gumaman Hayes,”Damn he’s good!” saat dia melihat Max Verstappen di sirkuit, itu merupakan sebuah penghormatan jenaka kepada legenda F1 nyata . 

  1. Dinamika Tim sebagai Jiwa Cerita

Konflik Sonny vs Joshua bukan sekadar rivalitas, tapi benturan generasi; Sonny mengandalkan insting, Joshua bergantung pada data simulator. Adegan puncak di Abu Dhabi menunjukkan bagaimana mereka bersatu lewat strategi “half-second rule.

  1. Kate (Kerry Condon) sebagai insinyur direktur teknik tim adalah bintang pemanis. Dia ‘menyelamatkan’ film ini dari adegan romansa klise yang seakan merupakan ceklis studio film-film Holliwood. Sepertinya chemistry naturalnya bersama Pitt, itu yang jadi penentu. 

Okelah, saya takkan mengulas lebih dalam supaya tak terlalu ‘mengganggu’ kalian yang penasaran dengan film ini. Saya jamin, hampir tiga jam durasi film ini takkan terasa. Saya sendiri sampai harus menahan keinginan kencing, saking tak ingin ada adegan yang terlewat.

LAYAR BIOSKOP: Resensi film di Layar Bioskop, harus orisinal. Terbit 2 mingguan, setiap Selasa, gantian dengan Rak Buku. Penonton harus terhubung langsung dengan filmnya. Hindari definisi-definisi, upayakan ada detail suasana bioskop dan penonton. Teknik menulis travel writing sangat ditunggu. Lengkapi dengan foto selfie dengan poster film, suasana lobby bioskop, dan tiket bioskopnya. Panjang 500 hingga 700 karakter. Honor Rp. 100 ribu dari Honda Banten. Terbit tiap Jum’at. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dengan subjek Layar Bioskop.

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5