Oleh Intan Sri Rahayu

Pada awal Juni lalu, saya dan seorang teman memutuskan untuk berlibur sembari mengunjungi teman kami yang lainya di Lombok. Perjalanan ini sudah lama kami rencanakan, bahkan beberapa kali batal. Meski Lombok tergolong dekat bagi kami yang tinggal di Bali, terkadang menemukan hari libur di antara kesibukan kami yang berbeda-beda tak selalu mulus. Namun kali ini perjalanan kami terjadi juga dengan segala pengalaman serunya.

Kami menaiki kapal laut untuk menuju ke Lombok dari Bali. Tarif tiket yang kami bayar adalah sekitar 150 ribu rupiah untuk satu kendaraan bermotor dari pelabuhan Padangbai ke pelabuhan Lembar. Ya, kami memilih untuk membawa motor sendiri agar lebih hemat dan fleksibel selama berjalan-jalan nanti. Penyebrangan Padangbai-Lembar menempuh waktu sekitar 4 jam. Kapal yang kami naiki saat itu juga tak terlalu padat penumpang sehingga kami punya ruang beristirahat yang nyaman.

Setibanya di Lombok, kami menginap di sebuah hotel di Kota Mataram yang juga dekat dengan tempat-tempat wisata yang ingin kami kunjungi. Mengingat waktu libur kami cukup singkat yaitu tiga hari dua malam saja, kami akhirnya memusatkan rencana jalan-jalan di daerah Lombok Barat saja yang masih dekat perkotaan. 

Salah satu destinasi menarik yang akhirnya kami kunjungi adalah Banyumulek. Sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat. Desa ini telah dikenal sebagai pusat kerajinan gerabah di Lombok. 

Waktu yang diperlukan untuk sampai ke Banyumulek dari kota Mataram hanya sekitar 20 menit saja. Selama perjalanan ke sana, kami sempat berhenti untuk mencoba makanan dan jajanan kaki lima yang banyak ditemui di sekitaran Tugu Mataram Metro. Lalu lintas yang lenggang membuat perjalanan kami lebih tenang meski cuaca hari itu mendung dan sesekali hujan ringan.

Kami tiba di Banyumulek ketika hari hampir sore. Di sepanjang jalanan Desa Banyumulek kami melihat banyak sekali toko-toko dengan berbagai produk gerabah yang dipajang. Kami akhirnya bertemu dengan salah seorang ibu yang memiliki toko gerabah untuk menanyakan dimana tempat kami bisa belajar membuat gerabah. Kebetulan sekali bahwa ibu tersebut juga pengerajin gerabah dan mau menerima pengunjung yang ingin belajar membuat gerabah secara langsung. 

Akhirnya kami diajak masuk ke bagian rumah si ibu yang menjadi tempat membuat gerabah. Terdapat seorang ibu pengerajin lain yang kemudian mengajari kami membuat gerabah. Beliau menyiapkan alat dan bahan seperti tanah liat, alas pemutar, air dalam ember, dan beberapa potongan kain dan karet.

Pertama, si Ibu yang mengajari kami menunjukkan terlebih dahulu cara membuat produk gerabah sederhana yaitu asbak. Beliau mulai meletakkan segenggam tanah liat di alas pemutar dan mencipratkan sedikit air. Tanah tersebut lantas dibentuk agar mendekati bentuk mangkok kecil. Setelah mangkok tanah liat tersebut memiliki bentuk kasarnya, si ibu akan memeriksa keseluruhan bagian agar ketebalan tanah liatnya merata. Bila dirasa kurang, maka akan ditambahkan tanah liat lagi dan begitupun sebaliknya.

Setelah seluruh bagian asbak rata, maka bentuk kasarnya akan dihaluskan dengan menggunakan kain dan potongan karet/sandal. Ini adalah bagian yang paling mengesankan untuk dilihat. Alas pemutar akan berputar sementara asbak tanah liat mulai berbentuk mulus. Dalam waktu tak lebih dari 15 menit, sebuah asbak tanah liat sudah jadi dengan bentuk yang rapi. 

Saya dan teman saya akhirnya mendapat giliran untuk mencoba. Saya memutuskan untuk membuat mangkok sementara teman saya membuat gelas. Saya sendiri sudah pernah mencoba membuat kerajinan dari polymer clay namun tanah liat ternyata perlu teknik yang agak berbeda. 

Tanah yang dipakai untuk gerabah ternyata bukan dari tanah liat saja melainkan telah dicampur dengan pasir agar teksturnya bagus dan bisa merekat. Oleh karenanya adonan tanah liat tidak boleh diberi terlalu banyak air. Jika kelebihan air maka tanah liat akan terlalu lunak dan sulit dibentuk. Seperti yang terjadi pada mangkok tanah liat saya yang berair dan agak lembek. Namun untungnya saya segera dibantu si ibu pengerajin dengan mengatur adonan tanah liatnya lagi.

Setelah dibentuk, kerajinan gerabah dari tanah liat harus dikeringkan terlebih dahulu dengan panas matahari. Agar bentuknya lebih permanen dan tidak menjadi lunak kembali, gerabah yang telah dijemur akan dibakar. Proses pembakaran gerabah biasanya menggunakan api suhu tinggi pada tumpukan jerami. 

Gerabah yang sudah dibakar akan memiliki bentuk yang lebih permanen. Untuk beberapa jenis kerajinan gerabah yang memiliki fungsi tertentu misalnya alat makan, gerabah tersebut akan dilapisi dengan bahan lain dalam tahap finishing agar lebih mengkilap dan mampu menahan cairan.

Setelah beberapa waktu, akhirnya saya dan teman saya selesai dengan kerajinan kami masing-masing. Saya menambah sedikit hiasan wajah di mangkok saya agar terlihat lebih unik. Sebenarnya hasil kerajinan ini boleh kami bawa pulang namun tidak memungkinkan karena kondisi yang masih basah.

Kami tentu tidak bisa menunggu kerajinan gerabah kami dibakar dan di-finishing karena tahapan-tahapan tersebut memakan waktu yang cukup lama bahkan bisa berhari-hari. Namun setelah dipertimbangkan, ibu pengerajin bersedia untuk membantu mengeringkan gerabah kami dengan menjemurnya selama sehari dan kami boleh ambil ketika akan pulang ke Bali. Mengingat desa ini masih sejalur dengan pelabuhan maka kami menyetujuinya.

Saya sendiri merasa puas dan senang sekali bisa belajar membuat gerabah, apalagi saya memang memiliki ketertarikan pada seni kriya. Proses membentuk tanah liat bisa menjadi kegiatan yang sangat terapeutik dan menenangkan. 

Setelah belajar membuat gerabah di Banyumulek, saya menyadari bahwa kerajinan gerabah sangat memerlukan ketelatenan selama proses pengerjaan. Diperlukan pengalaman dan skill yang diasah sampai bisa menghasilkan produk kerajinan gerabah yang berkualitas. Namun dengan workshop seperti ini, siapapun bisa mencoba dan belajar membuat gerabah.

Bila melihat toko-toko gerabah yang ada di sepanjang jalan Desa Banyumulek, kerajinan gerabah yang ada sangat beragam. Mulai dari pot, kendi kecil hingga besar, berbagai perabotan masak dan makan, hingga hiasan dengan bentuk-bentuk lucu. Menurut pengakuan ibu pengerajin, kerajinan gerabah Banyumulek sudah dikenal hingga mancanegara bahkan ibu pengerajin itu sendiri telah banyak mengekspor produk gerabahnya.

Untuk mengikuti workshop belajar membuat gerabah ini, kami membayar sebesar 35 ribu rupiah per orang untuk 30 menit. Biaya tersebut sudah termasuk bahan dan satu kerajinan gerabah sebagai souvenir selain gerabah yang kami buat sendiri. Harga yang sangat terjangkau dan layak untuk pengalaman yang begitu menyenangkan. 

Dua kerajinan gerabah yang kami buat akhirnya dititip sementara agar bisa dikeringkan. Keesokan harinya ketika kami dalam perjalanan menuju Pelabuhan Lembar, kami singgah kembali ke Banyumulek untuk mengambil gerabah tersebut. Oleh suami si Ibu pengerajin gerabah, mangkok dan gelas tanah liat kami dilepaskan dari alasnya dan sedikit dihaluskan. Keduanya dikemas rapi dengan busa dan kardus agar bentuknya terjaga selama perjalanan. 

Jika teman-teman hendak berwisata ke Lombok, saya rasa Banyumulek bisa jadi destinasi yang dipertimbangkan. Desa ini memang bukan soal pemandangan indah atau spot menarik untuk berfoto, tapi justru menawarkan hal berbeda. Sebuah pengalaman dan wawasan yang hadir untuk dirasakan. Belajar membuat gerabah di Banyumulek seakan memberi ruang bagi kita tak hanya untuk berekreasi tapi juga berkreasi.

TRAVELING setip hari Jumat. Nah, kamu punya cerita traveling? Tidak selalu harus keluar negeri, boleh juga city tour di kota sendiri atau kota lain masih di Indonesia. Antara 1000-1500 kata. Jangan lupa transportasi ke lokasi, kulinernya, penginapannya, biayanya tulis, ya. Traveling diluar negeri juga oke. Fotonya 5-7 buah bagus tuh. Ada honoarium Rp. 100.000. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dan golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: traveling.

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5