Puisi Minggu: Cahaya Minangkabau Karya Nilam Cayo

Dalam tanah yang subur di jantung Sumatera Barat, di bawah naungan gonjong yang menjulang ke langit, lahirlah semangat yang tak lekang oleh waktu, saya sebagai seorang putri Minang, menulis dengan hati, menggali sejarah, dan mengabadikan falsafah Minangkabau dalam setiap bait puisi.

Dengan pena yang bergetar oleh arus zaman, saya mencoba menghidupkan kembali kejayaan Pagaruyuang, mengisahkan tentang tanah yang menjunjung adat dan kearifan lokal. Puisi saya bukan sekadar rangkaian kata, tetapi gema yang membangkitkan kenangan dan kebanggaan.

Melalui untaian kata, saya merangkai hikayat tentang raja-raja yang bijaksana, masyarakat yang teguh berpegang pada “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.” Setiap larik puisi saya adalah cerminan dari jiwa yang menghormati warisan leluhur, menyalakan obor sejarah, dan menerangi jalan bagi generasi yang akan datang. Selamat menikmati.

Nilam Cayo

oOo

Nilam Cayo
Pulau Aceh, Serambi Cahaya

Di ufuk timur, mentari menyapa,
Membelah kabut di atas samudra,
Pulau Aceh, permai nan teduh,
Dipuji angin, dibelai gelombang.

Laut membisikkan kisah lama,
Tentang perahu, tentang doa,
Nelayan mengayuh di riak tak henti,
Mengharap rezeki, menjemput mimpi.

Masjid tua di tepi pantai,
Menjulang teguh, menantang zaman,
Azan berkumandang serupa syair,
Menggetarkan hati, menuntun iman.

Duhai tanah, duhai jiwa,
Pada batu-batu tertulis sejarah,
Di arus yang deras, di angin yang lepas,
Tersemat harapan, terpahat cinta.

Pulau Aceh, serambi cahaya,
Di pangkuanmu, rindu berteduh,
Di lautmu, doa mengalun,
Di langitmu, Tuhan diseru.

2025

oOo

Nilam Cayo
Orang-orang Rantai

Besi membelenggu tangan dan kaki,
Di bawah surya yang garang menyala,
Di perut bumi mereka terkurung,
Menatah luka, menahan lara.

Hitam arang menutup wajah,
Peluh bercampur tanah dan bara,
Siang ke malam, malam ke siang,
Tulang dikikis, jiwa merintih.

Di liang gelap tanpa cahaya,
Harapan ditanam dalam bisik doa,
Pada ibu yang jauh di rantau,
Pada anak yang lupa wajah ayah.

Bukit-bukit mengabadikan derita,
Saksi bisu tangis yang karam,
Di batu cadas terukir sejarah,
Di debu jalan terserak nyawa.

Oh, tanah yang menyimpan pedih,
Dengarlah suara yang telah berlalu,
Dari belenggu lahir kebebasan,
Dari duka tumbuh harapan.

2025

oOo

Nilam Cayo
Perempuan Cahaya Samudra

Di tepian laut yang bergelora,
Di bawah langit yang membakar semangat,
Keumala Hayati berdiri tegak,
Menghunus keberanian di ujung pedang.

Tak gentar ia melawan arus,
Tak goyah ia menantang badai,
Serambi Mekah menggemakan namanya,
Sebagai benteng, sebagai cahaya.

Dengan langkah yang membelah gelombang,
Dengan hati yang sekeras baja,
Ia bukan sekadar bayang sejarah,
Ia adalah jiwa, ia adalah legenda.

Oh, wanita yang menulis takdir,
Dengan darah, dengan nyali,
Ia tak tunduk pada amarah dunia,
Ia menjemput kemenangan dengan tangan sendiri.

Di nisanmu, angin berbisik,
Di lautmu, sejarah berlayar,
Keumala Hayati, abadi namamu,
Terpatri dalam jiwa negeri.

2025

oOo

Nilam Cayo
Hang Tuah

Di tepian sungai yang mengalir jernih,
Di bawah bayang istana Melaka,
Hang Tuah berdiri tegak,
Menjunjung setia, menegakkan bangsa.

Pedangnya bukan sekadar besi,
Ia adalah janji, ia adalah amanah,
Dalam perang, dalam damai,
Namanya terukir dalam sejarah.

Tak gentar ia menempuh gelombang,
Tak goyah ia menatang badai,
Berkata bijak, bertindak tegas,
“Takkan Melayu hilang di dunia.”

Oh, panglima yang menjunjung marwah,
Pada negeri kau berikan nyawa,
Dalam setia, dalam derita,
Kebenaran kau tegakkan juga.

Hang Tuah, engkau legenda,
Di lidah zaman namamu hidup,
Di hati bangsa semangatmu menyala,
Tak lapuk di hujan, tak lekang di panas.

2025

oOo

Nilam Cayo
Pagaruyuang, Singgasana Ranah Minang

Di kaki bukit nan berselimut rimba,
Di hamparan tanah yang sarat sejarah,
Rumah Gadang tegak menjulang,
Menjadi saksi zaman yang beralih rupa.

Di bawah gonjong yang melingkar angkasa,
Tersimpan kisah raja-raja bijaksana,
Tak sekadar istana, tak sekadar nama,
Pagaruyuang, marwah dan makna.

Angin membawa bisikan lama,
Tentang adat yang tak lapuk di hujan,
Tentang petuah yang teguh berakar,
Berkilau dalam akal dan budi.

Oh, tanah yang menjunjung falsafah,
Di jantungmu terpatri martabat,
Di lembahmu mengalir keteguhan,
Di langitmu berkibar kebanggaan.

Pagaruyuang, tak sekadar kerajaan masa lalu,
Ia adalah nurani negeri,
Ia adalah arus yang tak henti,
Ia adalah rumah bagi budi pekerti.

2025

oOo

TENTANG PENULIS: Nilam Cayo. Penulis novel religi yang tinggal di pedalaman Sumatera Barat. Dengan keterbatasan media, tak menyurutkan langkahnya untuk terus berkarya. Baginya, menulis dan membaca itu perintah agama, jadi menyebarkan ilmu lewat tulisan menurutnya salah satu bentuk dari dakwah.

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya. Jika ingin melihat puisi-puisinya yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==