Puisi “Aku Harus Meninggalkan Kota” — suasana duka, kehancuran, dan keharusan untuk pergi dari sesuatu yang dulu bermakna.
Gol A Gong
Keluarga Besar SPGN di Alun-Alun Kota Serang (6)
Masa-masa sulit sebagai Keluarga Besar Guru SPGN Serang di Jl. Ki Mas Jong berhasil dilewati. Kami pindah mengontrak rumah di Kaloran, terus ke Kaujon Pasar Sore. Pada 1972, semua guru SPGN mendapatkan rumah yang layak. Ada yang ke Perumahan Ciceuri (di belakang Intermedia). Kami dan beberapa keluarga lainnya – ada guru SMPN 2 dan guru SDN 1 – menempati rumah kopel di Komplek Guru, Jalan Yusuf Martadila.
Kota Tak Bernyawa dalam Puisi
“Kota Tak Bernyawa” karya Gol A Gong terasa sangat puitis dan penuh perasaan—sebuah refleksi kehilangan, kerinduan, dan perubahan dalam hiruk pikuk kota yang makin asing.
Nasi Rabeg di Hajatan yang Tertunda
Di rumah ngecek undangan. “Iya, hari Minggu, Pah. Sekarang Rabu, kok udah dipasang tendanya,” Tias menunjukkan kartu undangan. Aduh. Ya, sudah. Makan siang di rumah. Masak dulu, ya.
Aku dan Kotaku dalam Puisi
Puisi “Aku Dikalahkan Kotaku” karya Gol A Gong ini pendek, tapi punya kekuatan emosional yang sangat dalam—dalam tiap lariknya tersembunyi luka, perlawanan, dan pengakuan akan kekalahan. Kritik sosial yang tajam. Tidak ada keadilan atau penjelasan—hanya pengusiran. Ini bisa ditafsirkan sebagai pengucilan, ketidakadilan ekonomi, politik, atau budaya.
Emak Kembali ke Banten (5)
Santri Aji dan yang lainnya berjalan kaki siang dan malam, menghindari dari ancaman lahar gunung Krakatau. Santri Aji sampai di dareah Subang. Dia membangun pesantren dan menikah dengan gadis desa, yang juga ditaksir oleh tentara Belanda. Setelah lahir Aki Acing, tahun 1905, tentara Belanda itu menyatroni santri Aji. Terjadi perkelahian, tentara Belanda itu mati. Santri Aji ditangkap dan dibuang ke Aceh – nanti akan ada episode aku melacak jejak santri Aji ke Aceh.
Kota dalam Puisi
Puisi ini berbicara tentang meninggalkan sebuah kota—yang bisa dimaknai secara harfiah atau metaforis—karena berbagai alasan: kekecewaan, kehilangan harapan, atau mencari awal baru. Kota tersebut dulunya mungkin penuh kenangan, namun kini ditinggalkan karena tak lagi memberi kehidupan.
Kebebasan Memilih dan Bertanggung Jawab
Menjadi anak Gol A Gong dan Tias Tatanka. Tanpa berniat membeda-bedakan, aku sangat bersyukur dilahirkan dari mereka karena dengan metode yang digunakan, aku bisa menghargai manusia tanpa menyakiti perasaannya. Mungkin suatu saat nanti jika aku sudah menikah, metode ini akan aku gunakan untuk keluarga kecilku.