Lantas saya merenung, buntungnya sama, kok nasibnya sangat jauh berbeda. Yang satu pasrah nasib, minta dikasihani, sementara Gol A Gong pantang menyerah dan begitu produktif berkarya. Bahkan saya (mungkin juga anda) yang normal secara fisik berlengan lengkap, kerap dihinggapi perasaan minder jika membandingkan dengan segala pencapaiannya.

Lantas apa kira-kira yang membedakan sosok Gol A Gong dengan pemuda buntung di lampu merah tersebut?
Buku terbarunya berjudul Gong Smash yang diterbitkan Epigraf adalah jawabannya. Buku autobiografi yang disajikan dalam bentuk novel ini seakan mengajak kita duduk di beranda rumah berkerumun menghadapi layar kaca hitam putih yang menggunakan accu sebagai strum, kembali ke era 70-an. Seakan kita menyaksikan tayangan dokumenter kisah masa kecil Heri Hendrayana Harris (nama asli dari Gol A Gong) yang penuh petualangan hingga membuat tangan kirinya mesti diamputasi gara-gara terjatuh saat beradu nyali terjun dari atas pohon bersama teman-teman masa kecilnya.

Tangan kirinya yang buntung sesikut, tidak membuat Heri minder, apalagi hingga menarik diri dari lingkungan pergaulan sosial. Heri yang sedari kecil senang berbaur dengan teman-temannya justru jiwa petualangannya kian menggelegak, ia kerap bolos sekolah untuk melakukan perjalanan dengan cara hitchhiking; nebeng kendaraan secara gratis. Ia terpengaruh sekaligus terobsesi oleh tokoh-tokoh novel yang dibelikan ayahnya. Kedua orang tua Heri sungguh bijaksana dan demokratis dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Heri kecil digembleng dengan disiplin olahraga yang ketat hingga fisiknya kuat, juga dinutrisi dengan buku-buku sastra agar mentalnya kuat. Hingga Heri menanggapi kehilangan tangan kirinya begitu ringan; tak lebih sekadar kehilangan beberapa kilo daging semata.

Tidak banyak diketahui khalayak, kalau pengarang Balada Si Roy yang melegenda tersebut, ternyata mantan atlet badminton yang terbilang prestatif di zamannya; penyumbang tiga medali emas pada FESPIC 1986 (Pesta Olahraga Cacat se-Asia Pasifik ke-IV) di Solo (hal. 205). Bahkan ia menggunakan raketnya sebagai bekal sekaligus “senjata” berkelana keliling Indonesia meladeni para pebulutangkis di hampir setiap daerah yang dikunjunginya. Melalui tanding ekshibisi bulutangkis itulah ia mengongkosi perjalanan petualangannya ke tempat-tempat berikutnya.

Dari mana semua pencapaian prestisius itu mampu ia raih? jawabannya tak lain adalah berkat gemblengan kedua orang tua Heri yang memfasiltasinya dengan olahraga dan buku. Entah, jika Heri dibesarkan dengan pola asuh sebagaimana lelaki di lampu merah di atas?
Lewat buku ini seakan Gol A Gong ingin mewartakan kepada para orangtua untuk mendukung dan merawat apapun yang menjadi kecenderungan dan impian anak-anaknya. Karena tak jarang, bakat luarbiasa si anak terkubur begitu saja lantaran diabaikan oleh orang tuanya. Lebih banyak orang tua yang bersikap otoriter memaksakan kehendak kepada anak-anaknya mesti begini-begitu padahal bertentangan dengan kecenderungan minat dan bakat si anak. Tak jarang si anak dicap sebagai pembangkang; durhaka kepada orang tua, hanya karena berbeda pendapat dengan pendirian sikap kedua orang tuanya.

Heri sempat “bersitegang” dengan keluarganya saat ia memutuskan berhenti kuliah dan memilih berkelana untuk menuntaskan cita-citanya menjadi seorang pengarang. Di buku ini digambarkan bahwa Heri sedari kecil memang tak betah terkurung di ruang kelas atau sekolah. Ia lebih tertarik mereguk langsung pelajaran hidup lewat interaksi dengan orang lain dalam kehidupan langsung; di tempat-tempat yang dikunjunginya. Hidupnya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh novel yang dilahapnya. Hal ini pula yang mendorongnya memilih profesi menulis sebagai sandaran hidupnya. Ia berpetualang menyambangi sekujur tempat di nusantara menyandang ransel dan raket, mencatat setiap detail peristiwa di buku hariannya, lantas mengirimkannya ke rumah hingga berkarung-karung kemudian ia olah menjadi novel pertamanya yang fenomenal berjudul Balada Si Roy yang dalam waktu dekat filmnya bakal kita nikmati di bioskop.

Jika diibaratkan anak-tangga, terdapat 4 anak tangga yang Heri atau Gol A Gong tempuh sebelum terkenal sebagai penulis segudang penghargaan yang diamanahi tugas menjadi Duta Baca Indonesia saat ini (Periode 2021 s.d 2026).

Pertama, adalah andil atau peran serta orang tua Heri dalam mengasuh dan membesarkannya dengan penuh cinta kasih. Ada adagium yang menyatakan bahwa segala sesuatu berawal dari rumah. Sikap kedua orang tua Heri yang bijaksana dan demokratis patut kita teladani. Hal itu bisa kita baca dari cara ayahnya yang memberikan dan melatih Heri bermain kelereng pasca amputasi agar Heri tetap bisa bermain dengan teman-temannya meski berlengan satu tanpa kesulitan. Jika ada yang membully atau meremehkannya, kedua orang tuanya menyikapinya dengan bijak dan objektif. Tergambar bagaimana Heri yang murung sepulang sekolah lantaran tidak diizinkan bermain badminton oleh guru olahraganya. Alih-alih orang tuanya melabrak si guru, justru dipakai untuk menguatkan mentalitas anaknya. Ayah Heri justru mengamini pendapat si guru yang menyatakan Heri belum bisa main dan menstimulusnya untuk latihan lebih serius dan membuktikan kemampuannya (hal. 61). Dalam hal ini orang tua Heri membekali anak-anaknya dengan kail bukan ikan, menyelesaikan sepelik apapun masalah dengan dialog secara terbuka (Saat Heri memutuskan berhenti kuliah dan memilih traveling).

Kedua, berkat buku dan musik. Entah apa jadinya Heri jika kedua orang tuanya bukanlah guru dan tidak membekalinya dengan buku-buku bergizi. Begitu pentingnya peran buku yang dirasakannya, hingga Heri atau Gol A Gong sebagai Duta Baca Indonesia saat ini membuat tagline program kerjanya “Berdaya dengan Buku”. Lihat saja judul-judul buku bermutu yang memengaruhi Gol A Gong yang ia catat di buku Gong Smash ini; Tom Sawyer Anak Amerika, Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak, Gundala Putra Petir, Mengelilingi Dunia dalam 80 Hari, Ali Topan Anak Jalanan, Gita Cinta dari SMA, Si Doel Anak Betawi, Ziarah, Ronggeng Dukuh Paruk, Karmila, Old Shatterhand, Winnetou, Doctor Zhivago, Sitti Nurbaya, Romeo and Juliet, Blues untuk Bonnie, Papillon, Monte Carlo, Musashi, Bumi Manusia, Petualangan Jim Bowie. Buku-buku tersebutlah konon yang menginspirasinya mengarang Balada Si Roy. Bayangkan, lewat 5 jarinya ia telah menelorkan kurang lebih 125 buku, bahkan buku terbarunya ini mampu ia selesaikan hanya dalam tempo 15 hari. Untuk musik Gol A Gong mencacat Koes Plus, Genesis, Yes, The Doors, ELP, The Animal, King Crimson, The Who, hingga Floyd. Kaset menjadi barang buruan Heri selain buku-buku. Buku dan musik menemani dan menyemangatinya dalam mengejar impiannya.

Ketiga, Olahraga. Dalam hal ini badminton. Kemampuan badminton Heri yang digembleng langsung sang Ayah yang merupakan guru olahraga, membuat fisiknya kuat. Sedari kecil Heri terbiasa lari pagi ratusan kilometer kadang mengenakan rompi berpasir, berlatih shadow hingga footwork yang membuatnya kian energik. Olahraga membuat Heri pantang menyerah dan kian bergairah dalam menjalani hidup. “Aku menjalani hidup seperti sedang bertanding badminton. Aku keluarkan seluruh kemampuanku; cop, lob, adu net, rally, dan smes. Pantang menyerah sebelum hasil akhir. Jika kalah, berjuang lagi untuk menang. Jika menang, hormati lawan. Itulah sportivitas.” (Hal. 255). Heri pun terobsesi juara All England sebagaimana Rudy Hartono yang pernah menjuarai All England 7 kali berturut-turut.

Keempat, traveling. Traveling tepatnya berpetualang, membuat Heri kaya akan pengalaman hidup. Ia pun bisa mempelajari aneka karakter manusia yang ditemuinya untuk diadopsi ke dalam tokoh novel rekaannya. Saat hendak menulis trend dunia remaja Heri riset langsung bahkan berusaha mengalaminya secara langsung; dari merokok, mabuk hingga narkoba. Satu hal yang dihindari Heri yakni seks bebas. Heri tak habis pikir pada teman-temannya yang menjadikan seks sebagai kesenangan semata bangga memamerkan sprei putih dengan bercak darah merah, bersenang-senang bagi Heri cukup dengan membaca buku, mendengarkan musik, olahraga, atau dengan traveling melakukan perjalanan. Ia mengamini betul petuah Maugham yang menyatakan bahwa jika ingin jadi penulis, mesti pergi keluar rumah lantas menuliskan semua pengalaman yang dialami (hal. 250). Tulisan yang bersumber dari pengalaman langsung memang memiliki ruh lebih kuat dan membekas kepada pembaca ketimbang hanya mengandalkan riset pustaka semata.

Itulah berapa alasan yang memicu Gol A Gong menjadi pengarang. Ia harus realistis pencapaiannya di badminton berumur pendek, tak bisa dijadikan bekal sandaran hidup. Buku Gong Smash ini bukan saja sebagai memoar atau autobiografi Gol A Gong semata, di dalamnya secara tersirat akan kita temukan, tips mengukur kekuatan lawan dalam badminton, tips menulis novel, dan banyak lagi.
Buku ini cocok dibaca untuk semua kalangan. Seorang anak bisa menghadiahi orangtuanya agar mengerti dunia remaja, pun begitu sebaliknya. Siapapun yang membaca buku ini akan tersemangati untuk menjalani hidup dengan penuh optimis. Asal kamu mau, pasti bisa! Begitulah pesan Gol A Gong yang sudah ia buktikan dengan segudang prestasi dan penghargaan yang digenggamnya. Wallahu a’lam. (*)

*) Anas Al Lubab editor dan pendidik di SMK YP Fatahillah 1 Kramatwatu, Kabupaten Serang

PENULIS DAN BUKU: Ini adalah halaman resensi buku. Jika Anda sudah membaca buku, apa yang Anda rasakan? Tuliskan di sini. Sertakan foto diri, buat ilustrasi foto Anda dengan cover buku yang Anda resensi. Ada uang sebagai ganti pulsa sebesar Rp. 100 ribu dari Honda Banten. Kirimkan resensi Anda antara 700 – 1000 kata ke email: gongtravelling@gmail.com .

